AC Milan akan menjamu Arsenal di San Siro dalam lanjutan laga hidup-mati Arsene Wenger. Oh, bukan, maksudnya 16 besar Liga Europa. Maaf, sebagai Gooner belum terbiasa untuk menuliskan kata "Liga Europa". Harap maklum.
Begini. Alkisah, tim tuan rumah, AC Milan sedang dalam performa terbaiknya: 12 pertandingan tak terkalahkan. Berbeda 180 derajat dengan Arsenal yang angot-angotan: kalah dalam 4 laga terakhir. Bahkan di laga terakhir 32 besar, mereka kalah di kandang 1-2! Memalukan. Untunglah cadangan devisa pada laga pertama masih cukup. Tapi kini lawan Arsenal adalah AC Milan. Yang konon sejarah panjang klub tersebut sepertinya berbanding lurus dengan prestasi (baca: piala).
Tidak ada hitung-hitungan pasti untuk laga ini. Yang ada hanyalah pembeda, Gattuso adalah orangnya. Ia dianggap mampu mengangkat mental para punggawa AC Milan. Sebab sebelum ditangani olehnya, AC Milan bisa dianggap sebagi tim yang inkonsisten. Kadang menang, lebih sering kalah, dan jika beruntung mendapat hasil imbang. Montella dipecat. Gattuso menggantikannya.
"As long as my players show respect -- not for me, but for the locker room, their teammates and the club -- I will tear my heart out of my chest and let them play keepy-uppy with it," kata Gennaro Gattuso, setelah pertandingan Coppa Italia ketika mengalahkan Lazio.
Menariknya, ketika Arsenal kalah 0-3 oleh Man-City di Emirates Stadium, komentar Wenger adalah karena mental bermain pemainnya sangat rendah. Jadi, ini bukan soal strategi atawa susunan pemain pilhannya, melainkan mental. Hebat betul, bukan?
Jika ini sebuah kebetulan, pastilah kebetulan yang disengaja. Seakan-akan Wenger lebih dulu tahu rencana Tuhan ketimbang malaikat.
Namun, jika melihat pertandingan terakhir AC Milan dengan Arsenal, meski akhirnya Arsenal kalah agregat 4-3, AC Milan dinilai tidak memiliki mental dalam bertanding. AC Milan hanya bermain baik di kandang. Sedangkan Arsenal apes, kemasukan terlalu banyak kala bertandang.
Setelahnya lama Arsenal tidak bertemu AC Milan. Bagaimana bisa bertemu, Arsenal bermain di Liga Champions, sedangkan AC Milan (kadang-kadang) hanya bermain di Liga Europa. Adapun tahun lalu, dalam laga persahabatan AC Milan melawan Arsenal, tapi yang bermain pemain veteran. Arsenal menang 3-0!
Namun, pertanyaan yang bisa diajukan, barangkali, akankah ada jual-beli serangan?
Saya tidak yakin. Kemenangan beruntun AC Milan dalam 12 laga didapatkan dengan skor tipis-tipis. Gattuso masih menerapkan gaya bermain bertahan khas Italia. Berbeda dengan Arsenal, meski kalah beruntut empat kali, tidak sekalipun bertahan. Tim yang selalu ketinggalan tidak mungkin bermain bertahan, bukan?
Kedua tim ini juga sama-sama sedang mengandalkan ujung tombaknya: Cutrone dan Aubameyang. Pemain muda disandingkan pemain matang (yang pernah disia-siakan AC Milan). Ada dua hal, paling tidak, yang menarik selain adu tajam kedua penyerang tersebut. (1) Pertarungan pemain tengah dan (2) siapa lebih disiplin dalam bertahan.
Untuk kedua hal tersebut, AC Milan unggul. Suso, Montolivo dan Bonnaventura semakin padu. Kemudian ditambah Choganoglu, atau Kessie yang menjaga kedalaman AC Milan. Ozil dan Micki tidak mungkin bisa menang melawan kelima pemain AC Milan kalau hanya berdua. Sebab, kalau nanti Xhaka dimainkan ia tak ayal pelengkap tim. Nil kontribusi.
Oleh karenanya siapa tim yang lebih disiplin dalam bertahan, akan mampu meraih kemenangan. Beruntunglah Arsenal karena barisan pertahanan AC Milan ditopang pemain seperti Bonnuci dan Donnaruma. Sebabnya, tentu saja, mereka berdua laiknya air dan api. Dua kejadian monumental adalah (1) ketika AC Milan sedang unggul 1 gol melawan tim yang sama sekali tidak pernah merasakan poin, lalu Bonnuci membuat pelanggaran yang mengakibatkan pertandingan berakhir imbang.
Dan, (2) gol ke gawang sendiri Donnaruma beberapa pekan lalu. Kiper membuat gol ke gawang sendiri apalagi kalau bukan barisan pertahanan yang meleng?
Tapi, bukan berarti Arsenal tanpa lubang dalam garis pertahanan. Mustafi dan (sekali lagi) Xhaka adalah orangnya. Itu saja. Andai nanti Wenger memainkan Elneny, maka selesai itu perkara. Bellerin, Ozil dan Micki bisa nyaman kala menyerang.
Mentalitas inilah, mungkin, yang menjadi pembeda. Bukan mental juara, tentu saja, cukup mental bermain. Mental menghabiskan 90 menit dengan baik atau memaksimalkan tanpa sedikitpun membuat kesalahan. Ini bukan stategi lagi yang berbicara, melainkan motivasi antar pemain. Sederhananya, motivasi untuk bermain di Liga Champions. Karena hanya dengan itu gengsi (pendukung) kedua tim bisa sedikit lebih jumawa. Sombong, lebih tepatnya. Sebab Wenger selalu tahu bagaimana caranya masuk Liga Champions daripada AC Milan dan para pendahulu pelatih-pelatihnya. Itu saja. Yang jelas makan siang saya menunggu setelah pertandingan ini.
Fbregas in 2008. KP Boateng in 2012.
Milan v Arsenal
Who's going to shine this time?#UELpic.twitter.com/gdtZCLct6k--- UEFA Europa League (@EuropaLeague) February 23, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H