Yha. Pada akhirnya gadget Peang digunakan sebagaimana umumnya: untuk berkomunikasi. Mungkin tidak baik, sebab Peang baru berumur 8 tahun, tapi ada banyak pertimbangan untuk itu, satu di antaranya ketika ia sakit.
Bukan. Sakitnya tetap dalam proses penyembuhan dengan obat dari dokter, bukan dari pemberian gadget.
Jadi setelah melakukan suntik vaksin di sekolah Peang demam. Seharian. Hanya diberi obat warung biasa kala itu untuk menurunkan panasnya dan tidak berpengaruh apa-apa. Gopah sedang tidak di rumah; ibadah. Gomah belum pulih betul dari sakitnya. Saya sedang di kantor. Seharian badannya panas, lemas. Itu baru saya tahu tentu ketika pulang dari kantor. Besok paginya baru saya bawa ke dokter.
Saya merasa kesal sendiri: kenapa hari itu tidak seorangpun ada yang mengabari?
***
Gadget dan Peang bukanlah 2 hal yang asing. Sejak umur 3 tahun malah, ia bisa mengoperasikan laptop. Untuk ketak-ketik asal dan perlahan bisa ia gunakan untuk bermain gim. Dari Zuma sampai Plant vs Zombie, pernah ia tamatkan sebelum akhirnya laptop saya rusak.
Karena itulah ketika ulang tahun ke-4 Peang minta dihadiahi tablet. Kami kabulkan. Tentu beralasan: saya dan Gopah sepakat laptop hanya untuk kerja. Saya gunakan untuk menulis dan Gopah untuk membuat eFaktur.
Memang bisa saja kami tidak memberinya tablet untuk sekadar main gim. Namun, satu waktu saya tercerah oleh bit stand-up Ernest Prakasa: sebenarnya kebebasan orangtua menjaga anak itu saat si anak sudah anteng bermain gadget. Sepakat atau tidak, tapi kini itulah faktanya, bukan?
Kami tidak pernah mengatur waktu Peang untuk bermain tablet. Bebas saja. Sejak ia minta sekolah, sejak saat itu kami ajarkan Peang tentang tanggungjawab. Fokusnya: konsekuensi.
Sederhananya begini: ketika pulang sekolah, TK-Nol Kecil saat itu, Peang kami bebaskan main tablet. Tapi seperti yang kita tahu dan entah mengapa ini membuat saya sebal: setiap hari Peang selalu diberi PR. Bayangkan, masa anak TK-Nol Kecil sudah dibebani PR! Ada saja, dari menghitung sampai menulis alfabet.
Hal-hal seperti itu yang sampai sekarang tidak bisa diubah dalam kurikulum pendidikan. Pernah saya tanya Kepala Sekolahnya kenapa selalu memberi PR?
"Soalnya di sekolah prosentase mainnya mesti jauh lebih banyak daripada belajar. Sedangkan nanti kalau mau masuk SD, anak-anak dites baca-tulis-hitung. Jadi mau-tidak-mau cara kami melatihnya dengan begitu (memberi PR)," kata Kepala Sekolahnya Peang.
Bobrok betul semua. Andai waktu itu Peang tidak minta sekolah, barangkali sampai sekarang tidak saya sekolahkan. Dan sekarang, suka-tidak-suka Peang sudah masuk ke dalam sistim tersebut. Apeu.
Yha, PR. Karena PR akhirnya saya bisa kenalkan Peang perihal konsekuensi: kalau terus-terusan main tablet dan tidak mengerjakan PR bisa dimarahi guru (meski belum pernah sekalipun saya lihat gurunya di sekolah marah, sebandel apapun muridnya). Hasilnya: Peang yang mengatur waktunya sendiri. Ia membagi waktu untuk main dengan teman jam berapa, main tablet jam berapa dan mengerjakan PR jam berapa. Semua teratur dan semua Peang yang mengatur. Tugas saya: mengawasi.
Pola tersebut berjalan dengan sendirinya sampai sekarang Peang kelas 2 SD. Bahkan sebelum kenaikan kelas 2 ini, saya pernah bertaruh sama Peang: kalau peringkat di kelas meningkat, akan saya berikan tablet yang baru. Seperti yang sudah pernah ceritakan: saya kalah!
***
Barangkali saya keliru telah mengenalkan hal-hal seperti gadget atawa perangkat lainnya sejak Peang kecil. Anggaplah demikian. Tapi saya percaya: ada yang jauh lebih berbahaya dari itu, membiarkannya main tanpa diawasi. Saya sadar, semakin besar tanggungjawab yang Peang dapat, maka akan berbanding lurus dengan tingkat mengawasinya.
Sebagai kakak, semoga yang saya lakukan benar, tugas utamanya mengawasi bukan membatasi. Malah banyak hal-hal yang tidak Peang dapat dari saya atau sekolah, justru ia pelajari sendiri dan pahami dari bermain gim.
Terpaksa saya belikan gadget baru. Tablet lamanya rusak. Kalaupun diperbaiki tidak sebanding dengan performanya. Dengan alasan seperti itulah akhirnya saya berani memasangkan aplikasi komunikasi pada gadget Peang. Sebelumnya ia sudah bisa menggunakan, tanpa pernah menjalankan (atau mengoperasikannya).
Saya tidak ingin Peang mesti menunggu saya pulang atau di rumah untuk mengabari hal-hal (yang sekiranya) penting. Tentu saya tidak ingin kejadian serupa berulang. Dan yang menyenangkan: saya bisa bertanya pada Peang apa di rumah Gomah masak atau tidak? Kalau tidak, saya bisa beli makan di luar dan sampai rumah tidak kelaparan.
when peang tak tanya barusan: pic.twitter.com/HVZOoxanew— Kangmas Harry (@_HarRam) March 1, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H