Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Yang (Sulit) Dipelajari dari Montella dan AC Milan

6 Desember 2017   09:48 Diperbarui: 28 Mei 2019   22:48 2508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vincenzo Montella, setelah AC Milan dikalahkan Torino 3-2 (@EPA)

"Pelatih selalu bertanggung jawab atas masalah teknik. Menurut saya, semuanya bertanggung jawab, (sayanganya) ekspektasi yang dipelihara (kepada saya) terlalu tinggi," ujar Montella di pengujung masa baktinya untuk AC Milan.

***

Berbeda dengan Indra Sjafri, membebastugaskan Montella sungguh sulit diterima akal sehat. Memangnya apa yang tidak dicapai Montella selama ini? AC Milan masih tim yang begitu-begitu saja tho? Dan, bukankah berharap lebih dari apa yang dipunya termasuk dalam golongan yang tidak bisa menyukuri?

Sebagai pemain, tentu kita tidak perlu mendebat kehebatan Montella. Bersama AS Roma, sering ia melayang terbang selepas mencetak gol. Namun sebagai pelatih, jika boleh meminjam istilah Sepp Herberger, pelatih kepala Jerman saat menjadi juara Piala Dunia 1954: "Keberhasilan dalam sepakbola ditentukan oleh tiga hal, yakni sepertiga kebiasaan, sepertiga perkawanan dan sepertiga sisanya adalah keberuntungan." (1) Kebiasaan itu bisa didapat dari latihan, (2) perkawanan dijalin dari luar lapangan dan (3) keberuntungan hanya bisa terjadi di lapangan, ketika bertanding.

Tentu dari ketiga keyakinan yang dimiliki Sepp Herberger, ada yang tidak dimiliki Montella selama menangani AC Milan. Atawa, dari ketiga itu, hanya satu yang dilakukan Montella. Jika diperkenankan menebak, adalah yang ketiga: keberuntungan. 

Maaf jika keliru, tapi sebagai penonton seperti itulah kiranya yang disajikan Montella. Sebagai contoh, lihatlah prestasi AC Milan di Europa League. Satu grup bersama tim-tim yang, barangkali, baru didengar untuk pertama kali. Lolos ke fase gugur, 32 besar. Dan yang lebih mencengangkan: AC Milan tidak terkalahkan. Tapi keberuntungan itu sayang sekali tidak mengampiri Montella di liga domestik, Serie A. 

Entah apa yang dimaksudkan Montella dari awal musim ini? Mengikuti jejak Manchester United yang hanya sanggup masuk Liga Champions lewat jalur khusus? Jika memang benar begitu, ingin rasanya berbisik ke telinga: seperti purnama, fenomena semacam itu langka.

Begini, coba saja perhatikan bagaimana Montella menyusun materi pemain untuk kompetisi Europa League. Tidak ada bedanya dengan Serie A. Hanya sesekali dan segelintir pemain muda diberi kesempatan bermain. Selebihnya itu-itu saja. Lalu guna beli membeli banyak pemain pada musim panas lalu apa?

Benarkah yang ditargetkan Montella musim ini (hanya) membawa AC Milan kembali ikut berkompetisi di Liga Champions? Jika hanya itu, Wenger sudah melakukannya 20 tahun, bersama Arsenal.

***

Montella digantikan Gattuso. Kalimat tersebut jika ditempatkan 10 tahun lalu, barangkali, kita akan memahami satu hal: kalau tim tersebut sedang unggul, makanya mengganti penyerang dengan gelandang bertahan. Tapi pada kenyataannya tidak. Tim itu sedang tertatih, berusaha sekuat-kuatnya, sebisanya. Selalu berharap pertandingan selanjutnya segera dimulai, karena pada pertandingan ini kemenangan masih sekadar angan.

Bagaimana tidak, pertandingan sudah memasuki waktu tambahan. Tim sedang unggul 1 angka, meski minus 1 pemain karena diusir wasit. Mungkin pertandingan itu akan jauh lebih cepat selesai daripada mengunduh 1 lagu bajakan. 

Jika ingin menang, tentu ada cara sederhana yang sudah terbukti berkali-kali di tanah Britania: bertahan! Buang jauh-jauh keinginan menyerang. Rebut bola sebisanya dan buang yang jauh ke depan. Tidak perlu melakukan aksi lebih dengan membuat pelanggaran. Sebab, setiap pelanggaran adalah peluang untuk tim lawan.

Namun tim lawan, yang notabene adalah tim promosi, yang sama sekali belum pernah mendapat poin satupun itu, berhasil menyamakan kedudukan. Skor imbang. Gol itupun dicetak bukan oleh penyerang andalan atau sang super-sub, melainkan kiper. 

Kamera langsung mengarahkan pada posisi Gatusso yang berdiri di pinggir lapangan. Ia berbalik badan. Mengumpatkan sesuatu ke arah siapa saja. Sedangan dari tempat lainnya, tim tuan rumah benar-benar meluapkan kegembiraan. Brignoli, kiper pencetak gol itu, langsung diserbu dengan pelukan yang jauh lebih hangat dari pelukan mantan yang menolak diajak balikkan.

Wasit mengakhir laga dengan suara pluit yang parau. Seisi stadion bergemuruh. Merayakan poin yang akhirnya didapat setelah pertandingan kelima belas. Tentu saat itu AC Milan tidak sedang berbagi angka, karena AC Milan sedang bertamu. Sebagai tamu. Sebab fasa "berbagi" itu hanya digunakan oleh tuan rumah. Apapun yang dimiliki, dibagi. Sesuatu yang datang, baik itu atas kehendak atau tidak, dan ingin berharap mendapat sesuatu, frasa yang sekiranya tepat adalah mengambil, isitilah kasarnya, pencuri. Jadi yang benar itu: AC Milan gagal mencuri poin. 

*** 

Ketika Gus Dur disurati oleh Romo Sindhunata lewat Harian Kompas, kita menjadi paham bagaimana sepakbola bisa digunakan sebagai bahasa kritik yang lugas. Romo Sindhunata menuding kalau Gus Dur terlalu menggunakan strategi Catenaccio dalam menjalankan roda pemerintahan. Barangkali karena terlalu lambannya demokrasi yang dulu telah lama kita dambakan, "... bahwa dengan catenaccio itu ia dapat mengatasi lawan politiknya di DPR."

Tapi amanat reformasi bukan semata tentang cara melawan politik semata, bukan? Sebab, hakikat catenaccio adalah bertahan dengan menunggu adanya peluang. Pada masa transisi inilah, bagi Romo Sindhunata, pemerintahan Gus Dur  terlihat lamban dalam membuat perubahan. Bila digambarkan dalam skema permainan, pemerintahan Gus Dur  semestinya mencari dan membuat peluang-peluang itu. 

Pemerintah semestinya memakai gaya sepakbola menyerang, berisiko dengan segala macam kemungkinan. Karena dalam sepakbola, tulis Romo Sindhunaata, peluang itu tidak ada di belakang, tetapi di depan. Dan yang paling nyata, "peluang itu terjadi dalam kemelut bola di gawang lawan."

Alih-alih kesal dengan kritik itu, seperti yang kita tahu, Gus Dur membalasnya dengan hangat dan akrab kepada Romo Sindhunata. Benar, bahwa selama kepemimpinan Gus Dur ada lembaga yang selalu berlawanan dengannya, yaitu Pansus (Panitia Khusus) DPR. Tapi, kata Gus Dur, keseluruhan perkembangan di negeri kita membutuhkan tidak hanya satu strategi saja, karena ia meliputi suatu kawasan kehidupan yang sangat luas.

Jalan reformasi masih amat panjang ketika itu. Mungkin tidak bisa tuntas dalam 1-2 tahun saja. Tidak bisa dilakukan cepat seperti permainan Inggris, hit and run. Bahkan, tulis Gus Dur, bisa membutuhkan satu generasi. Bukan sekarang, tapi nanti bisa kita rasakan. Oleh karena itu, Gus Dur mengutip pemikiran V.I. Lanin sebagai "penyakit kiri kekanak-kanakan". Dan bila itu dilakukan, sama saja dengan bunuh diri. 

Dari sanalah pijakan berpikir Gus Dur dikemukan dengan mengajak seluruh aspek masyarakat, merangkulnya, untuk menuju kepada amanat reformasi itu sendiri. Laiknya strategi total football a la Belanda.

"Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi Total Football mesti diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam lain hal hit and run. Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba keseblasan Brasil," tulis Gus Dur. Itulah suka dukanya kehidupan berdemokrasi, lanjutnya.

*** 

Seperti halnya Montella, nasib Gus Dur pun demikian adanya: diberhentikan. Harapan-harapan yang selalu disematkan itu, barangkali, terlalu dibumbui ekspetasi yang terlalu tinggi. Hingga pada akhirnya, percepatan dijadikan alasan --bahkan tujuan.

 Tidak mungkin dengan "kekayaan" yang ada dan berikan, tidak mampu menunjang keberhasilan; Gus Dur dengan kekayaan sumber daya manusianya, sedangkan Montella dengan kekayaan investornya.

Jika boleh meminjam istilah filsuf Slovenia, Slavoj Zizek, setiap krisis sosial politik mengandung kekuatan magis. Kekuatan magis itu laiknya solidaritas sosial-universal, yang memersatukan manusia untuk menetang penindasan. 

Hasilnya: bagaimana kita bisa percaya kalau suatu hari nanti Soeharto akan lengser atas kekuasaannya selama 32 tahun? Dan hal itu juga, barangkali, yang membuat Montella --juga Gus Dur--- mesti tumbang atas kekuatan magis tersebut.

Dan sebagaimana penyakit laten kekuasaan, ia selalu tidak ingin tergantikan. Seperti halnya Gatusso, alih-alih melakukan evaluasi saat gagal mencuri poin dari tim sekelas Benavento, dalam konfrensi press selepas pertandingan ia malah mengatakan ingin melatih AC Milan lebih lama lagi. Andai Gattuso membaca roman klasik Buya Hamka, ia akan tahu: "... rupa-rupanya kedukaan dan cobaan mesti diturunkan kepada manusia secukup-cukupnya dan sepuas-puasnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun