Ada satu fragmen yang menarik dari cerpen "Sindikat Pemalsu Kenangan" yang ditulis Agus Noor. Yaitu, seorang perempuan diberi kenangan oranglain untuk mengganti kenangan buruknya masa lalu.
Tentu perempuan yang diberi itu senang. Ia seakan dilahirkan kembali oleh kenangan yang indah, yang sebenarnya ia sendiri tahu: adalah kenangan (milik) orang lain. Kita memang butuh kenangan yang menyenangkan untuk sekadar bisa merasa bahagia, tulis Agus Noor.
***
Pengalaman adalah guru terbaik, selalu begitu yang kau tahu dan amini sampai sekarang. Lalu kenangan, kau kira, punya andil besar untuk mengajari hal-hal baru. Boleh setuju atau tidak, bahwa hari ini, kau adalah representasi dari pengalaman dan kenangan. Menulis ini, karena dulu pernah membaca itu. Membaca itu, karena dulu pernah  mengalami kejadian serupa sehingga terasa relevan.
Itu yang kemudian kau tuliskan. Kau tuturkan dengan segala teknik dan bumbu-bumbu agar supaya membuat yang membaca terkesan. Hasilnya adalah tulisan yang memiliki rasa, yang mengikat pada pembaca. Kau senang, tentu saja. Kau tahu, secara sadar atau tidak, telah meniru apa yang telah terjadi di masa lalu. Bisakah kita dapat kebaruan dari  itu? Masih bisakah kita sebut hal tersebut dengan label 'orisinalitas'?
Kau tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Atau, begini. Mungkin apa yang kau tulisankan adalah pengalaman dan kenangan orang lain? Bisakah? Tentu. Dan kau mengajukan pertanyaan yang sama dan  kau masih tidak bisa menjawabnya.
***
Kritikus sastra, Herald Bloom pernah mengkritik Gabriel Garcia Marquez dengan keras. Katanya, ia telah berhutang budi pada William Faulker dan Franz Kafka. Baginya, secara estetik, Gabo (panggilan Gabriel Garcia Maquez) hanyalah usaha menuliskan kembali "keriangan masa lalu dan kemuraman hari akhir" dari peradaban manusia. Bahwa segala pencapaian Gabo tak ubahnya menyempurnakan apa yang telah gagal dari Faulker dan Kafka.
Terlepas dari segala kritik terhadap Gabo, bagi kau, ia adalah tokoh yang telah mewarisi nilai-nilai yang tak habis dimakan zaman. Bahwa apa yang telah ia berikan pada kesusastraan dunia, setidaknya, akan sulit ditandingi untuk beberapa zaman kemudian.Â
Tentang kemampuannya menuliskan fakta-fakta yang kemudian kita mengenalnya dengan realisme magis, adalah satu bentuk kita menghadapi jurnalisme saat ini. Tidak ada yang cepat dan instan, karena  menjadi penulis, kata Gabo, bukan pekerjaan mudah. Ia membutuhkan  ketelatenan dan nafsu membaca yang luar biasa.
***