Beberapa bulan ini, entah apa, seperti ada yang terasa hambar dari setiap perbincangan. Namun ketika aku coba ingat-ingat, sekuatnya mengingat, baru aku sadari satu hal: sudah jarang lagi membincang buku, sastra dan sejenisnya. Setelah mengingat itu aku pun tahu penyebabnya: tidak ada (lagi) Mbak Nur. Kangen, kah?
Begini. Jika ada satu momen di mana aku bisa berdua dengan Mbak Nur; entah untuk makan siang atawa dalam satu pekerjaan, akan ada satu waktu di mana aku dan Mbak Nur membincang hal-hal seperti yang aku sebut di atas itu. Bisa dimulai dari fiksi-fiksi yang masuk kanal Fiksiana, membicarakan karyanya dan berdebat setelahnya. Atau, jika sedang ada buku-buku baru pesananku yang datang; biasanya akan membahas penulis mana yang tengah "naik daun" sampai genre macam apa yang tengah digandrungi banyak orang.
Buatku hal-hal semacam itu jadi menarik karena (1) Mbak Nur sendiri adalah akademisi sekaligus praktisi di bidang sastra. Sedangkan (2) aku sebatas orang yang suka saja terhadap sastra: senang membaca dan sesekali menulisnya. Atau, (3) dari perbedaan latar belakang tersebut kami selalu punya cara pandang yang tidak pernah sama. Terakhir, yang aku ingat, kami mendebatkan novel "To Kill a Mocking Bird". Bagi Mbak Nur, novel tersebut adalah novel sastra yang serius. Sedangkan aku melihatnya hanya sekadar novel populer saja. Bukan teenlit, yha, tapi populer. Setelahnya kami mendebatkan mana novel serius dengan populer. Tidak ada ujung-pangkalnya. Berakhir tanpa selesai oleh satu atawa banyak hal.
Tapi betapa senangnya, minggu lalu, aku bisa bertemu Mbak Nur. Akhirnya. Hal-hal yang sudah jarang aku dapati, lumayan terobati malam itu. Cukup lama juga: dari mulainya malam sampai tengah malam. Juga banyak hal lain yang kami obrolkan. Tapi kebanyakan yha tentang buku, sastra dan sejenisnya.
Dari sekian banyak yang kami bahas, ada yang kembali menjadi keresahan Mbak Nur yang baru aku tahu: ia tidak sanggup menulis dan/atau membaca novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama. "Capek bacanya," kata Mbak Nur.
Aku coba ingat-ingat ketika itu. Adakah novel bagus, menurutku, yang memakai sudut pandang orang pertama. Lama mengingat, yang keluar dari mulutku malah, "Novelnya Ayu Utami, trilogi Cerita Cinta Enrico. Gimans?" tanyaku waktu itu. Belum baca, jawab Mbak Nur datar.
Malam itu berakhir begitu saja. Tapi aku masih penasaran: adakah novel bagus yang ditulis dengan sudut pandang pertama?
Baru aku ingat. "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" yang ditulis kepala suku mojok, mz Puthut EA.
Novel mz Puthut itu tidak sengaja terbawa. Ada begitu saja di tas ketika aku menemani Gopah di rumah sakit. Sembari bengong menungguinya dari malam dan selama operasi hari ini, aku jadi kembali baca ulang dan menyelesaikannya.
Novel ini, konon, adalah novel debutan mz Puthut EA. Aku sendiri punya cetakan pertama. Namun sialnya, buku yang aku beli di toko buku yang hampir tutup di sebuah mal ketika ingin nonton AADC 2, ternyata "rijek". Beberapa puluh halaman terakhirnya hilang. Bukan hilang sih tepatnya, melainkan entah bagaimana cara mencetaknya, berpuluh halaman terakhir yang ada adalah bagian tengah novel tersebut yang tersusun. Kentang (red, kena tanggung) sekali rasanya. Jadinya malah antiklimaks. Etapi sekarang aku punya cetakan terbarunya!
Sejujurnya, aku terlebih dulu menyukai tulisan-tulisan mz Puthut EA sebelum membaca novel "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu". Jadi ketika aku membaca tulisan lainnya, terasa enjoy saja. Namun, ada yang kembali saya dapat: mz Puthut kembali menyadarkan saya tentang arti kebahagiaan secara hakiki; kesederhanaan. Bukan karena tidak ada yang istimewa dari novel itu, tapi kembali aku ingatkan, yha karena aku terlebih dulu suka, jadi tentu amat subjektif membacanya.