Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Mz Puthut EA

8 September 2017   01:25 Diperbarui: 8 September 2017   22:05 3889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini, entah apa, seperti ada yang terasa hambar dari setiap perbincangan. Namun ketika aku coba ingat-ingat, sekuatnya mengingat, baru aku sadari satu hal: sudah jarang lagi membincang buku, sastra dan sejenisnya. Setelah mengingat itu aku pun tahu penyebabnya: tidak ada (lagi) Mbak Nur. Kangen, kah?

Begini. Jika ada satu momen di mana aku bisa berdua dengan Mbak Nur; entah untuk makan siang atawa dalam satu pekerjaan, akan ada satu waktu di mana aku dan Mbak Nur membincang hal-hal seperti yang aku sebut di atas itu. Bisa dimulai dari fiksi-fiksi yang masuk kanal Fiksiana, membicarakan karyanya dan berdebat setelahnya. Atau, jika sedang ada buku-buku baru pesananku yang datang; biasanya akan membahas penulis mana yang tengah "naik daun" sampai genre macam apa yang tengah digandrungi banyak orang.

Buatku hal-hal semacam itu jadi menarik karena (1) Mbak Nur sendiri adalah akademisi sekaligus praktisi di bidang sastra. Sedangkan (2) aku sebatas orang yang suka saja terhadap sastra: senang membaca dan sesekali menulisnya. Atau, (3) dari perbedaan latar belakang tersebut kami selalu punya cara pandang yang tidak pernah sama. Terakhir, yang aku ingat, kami mendebatkan novel "To Kill a Mocking Bird". Bagi Mbak Nur, novel tersebut adalah novel sastra yang serius. Sedangkan aku melihatnya hanya sekadar novel populer saja. Bukan teenlit, yha, tapi populer. Setelahnya kami mendebatkan mana novel serius dengan populer. Tidak ada ujung-pangkalnya. Berakhir tanpa selesai oleh satu atawa banyak hal.

Tapi betapa senangnya, minggu lalu, aku bisa bertemu Mbak Nur. Akhirnya. Hal-hal yang sudah jarang aku dapati, lumayan terobati malam itu. Cukup lama juga: dari mulainya malam sampai tengah malam. Juga banyak hal lain yang kami obrolkan. Tapi kebanyakan yha tentang buku, sastra dan sejenisnya.

Dari sekian banyak yang kami bahas, ada yang kembali menjadi keresahan Mbak Nur yang baru aku tahu: ia tidak sanggup menulis dan/atau membaca novel yang menggunakan sudut pandang orang pertama. "Capek bacanya," kata Mbak Nur.

Aku coba ingat-ingat ketika itu. Adakah novel bagus, menurutku, yang memakai sudut pandang orang pertama. Lama mengingat, yang keluar dari mulutku malah, "Novelnya Ayu Utami, trilogi Cerita Cinta Enrico. Gimans?" tanyaku waktu itu. Belum baca, jawab Mbak Nur datar.

Malam itu berakhir begitu saja. Tapi aku masih penasaran: adakah novel bagus yang ditulis dengan sudut pandang pertama?

Baru aku ingat. "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" yang ditulis kepala suku mojok, mz Puthut EA.

Novel mz Puthut itu tidak sengaja terbawa. Ada begitu saja di tas ketika aku menemani Gopah di rumah sakit. Sembari bengong menungguinya dari malam dan selama operasi hari ini, aku jadi kembali baca ulang dan menyelesaikannya.

Novel ini, konon, adalah novel debutan mz Puthut EA. Aku sendiri punya cetakan pertama. Namun sialnya, buku yang aku beli di toko buku yang hampir tutup di sebuah mal ketika ingin nonton AADC 2, ternyata "rijek". Beberapa puluh halaman terakhirnya hilang. Bukan hilang sih tepatnya, melainkan entah bagaimana cara mencetaknya, berpuluh halaman terakhir yang ada adalah bagian tengah novel tersebut yang tersusun. Kentang (red, kena tanggung) sekali rasanya. Jadinya malah antiklimaks. Etapi sekarang aku punya cetakan terbarunya!

Sejujurnya, aku terlebih dulu menyukai tulisan-tulisan mz Puthut EA sebelum membaca novel "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu". Jadi ketika aku membaca tulisan lainnya, terasa enjoy saja. Namun, ada yang kembali saya dapat: mz Puthut kembali menyadarkan saya tentang arti kebahagiaan secara hakiki; kesederhanaan. Bukan karena tidak ada yang istimewa dari novel itu, tapi kembali aku ingatkan, yha karena aku terlebih dulu suka, jadi tentu amat subjektif membacanya.

Novel "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu", menceritakan tentang kehidupan detektif partikelir. Aku kira mz Puthut EA sudah menjelaskannya dari A-Z. Bisa jadi karena pengalaman. Bisa jadi karangan dari curhatan seorang teman. Entah. Aku selalu berusaha memisahkan kehidupan nyata si penulis dengan karyanya!

Begini. Toh, kalaupun ada kaitannya, paling tidak itu akan membantu dalam penguatan emosi dalam cerita. Selebihnya, aku kira, riset terhadap detektif partikelir perlu diacungi jempol.

Sebentar, sebelum lebih lanjut, ada yang tahu istilah detektif partikelir, kan? Kalau belum, sila googling sendiri. Atawa tanya-tanya Kompasianer senior, mereka pasti paham (atau malahan pernah/masih menjalaninya).

Jika batang tubuh cerita novel tersebut adalah kisah detektif partikelir, maka pencarian cintanya adalah konflik yang selalu dijaga. Hebatnya, konflik tersebut oleh mz Puthut EA dibangun, lalu dihancurkan. Ada dua fragmen yang aku suka: kisahnya perjodohannya dengan mb Sarah dan mimpi ketika sudah punya istri.

Perjodohan dengan Mb Sarah, aku kira, karakter Ibu dalam tokoh itu yang menarik. Ia, sebagaimana Ibu lainnya, menginginkan anak semata wayangnya menikah dan punya menantu dan punya cucu. Dengan semena-mena juga mz Puthut menghadirkan Mb Sarah --yang dalam bayanganku adalah karakter Sarah dalam film Si Doel: pintar, kaya dan jomblo. Cerita dibangun bagaimana Mb Sarah amat dekat dengan Ibunya dan si Aku dalam cerita itu dibuat cemburu buta: bahwa kasih sayang Ibu kepadanya mendua. Kalau boleh meminjam isitilah yang digunakan mz Puthut EA, mengambil eksistensi si Aku di rumahnya sendiri. Kemudian fragmen itu ditutup dengan manis betul: menaruh secarik kertas pesan di saku jaket. Ah!

Sedangkan ketika bermimpi sudah beristri, aku senang premis-premis yang disajikan mz Puthut EA. Tentang kebiasaan berbelanja sampai cara suami - istri memikirkan hal-hal remeh, tapi penting: memasak, misalnya.

Dari perkara mesin ATM yang hanya menyediakan pecahan 50ribu, bagi mereka, itu hal yang mempu mengubah pola belanja. Bayangkan! Ternyata itu penting lho.

Nah, yang terasa amat aktuil hingga kini, bagiku, adalah keresahan-keresahan mz Puthut EA tentang detektif partikel ini. Bukan perkara susah mencari jodoh atawa susah move-on, melainkan pertanyaan besar yang coba mz Puthut EA ejawantahkan: adakah jika kamu seorang detektif partikelir mampu menjalani hidup berumah tangga? Berdua dan beranak pinak setelahnya. 

Selain karena penghasilan yang tidak menentu, tapi di sisi lain biaya hidup terus menerus naik. Sudah begitu pajak penulis yang tinggi kian merongrong. Novel "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" menegaskan tentang betapa nikmatnya tersika untuk terus bertahan setia. Jadi, berminat jadi detektif partikelir?

RS. Bina Husada, 8 Sept' 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun