Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tutorial Menerima Kemenangan Chelsea

22 Mei 2017   22:37 Diperbarui: 6 Januari 2023   21:40 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Photo: Getty Images Europe)

1/ 

Percayalah, tidak ada yang abadi di dunia ini --apalagi sekadar EPL's trophy.

2/ 

Hanya dua hal yang saya bayangkan saat tahu kalau Conte akan menangani Chelsea: (kembali) juara dan sepak bola bertahan seperti yang dilakukan Leicester City akan bertahan. 

Ya, saya bukanlah pengagum seni sepak bola bertahan yang baik. Tidak sejalan dengan perkembangan sepak bola modern. Tidak seindah (permainan) Arsenal. 

Satu-satunya yang cocok dari Chelsea yang-bisa-disandingkan dengan modernisme hanyalah pertandingan mereka tak ayal obat tidur paling mujarab!

Saya sudah sering mencobanya kalau kalian tidak percaya.

3/ 

Luka itu masih ada dan terasa. Luka untuk menerima Leicester City juara musim lalu tidaklah mudah diterima. 

Saya paham, syarat untuk bisa juara hanya dua: (1) paling sedikit  kebobolan di antara dua kesebelasan yang tengah bertanding dan (2) (konsisten) menang –tidak peduli berapa selisihnya, menang ya menang. 

Caranya tentu mudah, bertahan dan sesekali menyerang. Khusus di Liga Inggris ada pengecualian atau tambahan: tidak kalah dari tim papan atas (big-four).

Begitulah yang dilakukan Conte untuk Chelsea musim ini. Seperti untuk Juventus, tapi tidak terbukti bagi timnas Italia ketika UERO 2016. Namun, cara seperti itu berhasil dilakukan Portugal. Conte hanya sial.

4/ 

Sebenarnya tidaklah aneh Chelsea dengan gaya Italia seperti itu. Dulu. Dulu sekali. Pertama kali mengenal Chelsea, tim itu sudah seperti sekarang ini. Mungkin ada yang ingat Gianluca Vialli? Pemain sekaligus pelatih Chelsea. 

Masa keemasannya adalah ketika berhasil memenangi FA Cup, League Cup, UEFA Cup Winners Cup dan UEFA Super Cup. Menakjubkan.

Hidup barangkali berjalan dari waktu ke waktu. Dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Chelsea saat Vialli pimpin, tentu Chelsea dengan keistimewaan yang biasa. 

Tidak ada yang bisa dibanggakan selain penyerang mungil —yang juga berasal dari Italia— Zola. Sepakbola seperti dibuat sesederhana mungkin. Bertahan dan jika ada sedikit peluang untuk menyerang, maka itu dimanfaatkan.

Vialli bisa menjadi titik kebangkitan awal di mana Chelsea mampu bersaing dengan tim-tim seperti Liverpool, Man. United, Newcastle dan… Arsenal (mungkin). Sadar tidak sadar dan mau tidak mau, begitulah Chelsea. 

Jauh sebelum (Tuan Besar) Roman Abramovich akhirnya datang membawa sisa-sisa kejayaan Uni Soviet. Membeli pemain seperti membeli kuaci kiloan. Siapapun pemain yang ia inginkan ya datangkan. Langsung beli tanpa menawar.

5/ 

Conte, seperti halnya pelatih baru yang datang ke tanah Britania, pun mengalami gegar budaya. Perjalanan awal musim yang membuat siapapun berang. Khususnya pendukung Chelsea. 

Bayangkan, sudah bermain bertahan yang menyebalkan, sudah begitu gagal. Barangkali yang bisa dibanggakan Arsenal musim ini (2016/2017) adalah bisa melumat Chelsea 3 gol tanpa balas di Emirates Stadium.

Namun, setelah (kekalahan) itu Conte merombak formasinya besar-besaran. Ia kembali mempercayakan Moses setelah lama disia-siakan. Ia di-plot di sayap kanan. 

Menggunakan 3 bek tengah yang kuat; Chahil, David Luiz dan Zouma (kadang bergantian dengan Azpilicueta). Dan tentu, Marcos Alonso yang ia beli dari Fiorentina.

Chelsea menjadi tim yang akrab dengan kemenangan. Perlahan menuju posisi puncak saat tim-tim lain kelelahan dengan padatnya jadwal. 

Perlu saya tegaskan: musim lalu Chelsea mengakhiri musim 2015/2016 di peringkat 10, yang artinya mereka tidak disibukkan dengan pertandingan Eropa.

Ingin tahu apa keuntungannya: kebugaran terjaga dan pemain bisa lebih sering piknik.

6/ 

Setiap orang punya selera yang berbeda. Jika senang dengan permainan menyerang, pasti boleh saja menyukai permainan bertahan. 

Toh, bagaimanapun  gaya bermain, hanya tim yang menang (atau, imbang) yang hanya mendapat poin. Ada pertandingan Chelsea yang saya ingat musim ini (selain kalah dari Arsenal, tentu): kemenangan besar mereka atas Southampton 4-2.

Conte sudah unggul 2-1 hingga turun minum. Southampton mengambil inisiatif menyerang sejak awal babak kedua dimulai. Menyerang dan terus menyerang. 

Chelsea terus berusaha bertahan dan sesekali menyerang. Southampton lengah pada menit 52, serangan balik Chelsea mampu dihentikan dengan pelanggaran. Fabregas mengambil tendangan bebas. 

Memberi umpan ke kotak pinalti, namun berhasil dimentahkan Steven Davis. Tendangan penjuru untuk Chelsea. Fabregas kembali yang mengambil tendangan itu. Bola diumpan, disambut dengan kepala oleh Diego Costa, dan gol. Betapa mudah, bukan?

Pertandingan seakan milik Chelsea. Namun Southampton tidak ingin menyerah begitu saja. Mereka terus menyerang. Ada 3-4 peluang yang mereka buat. Gagal. 

Alih-alih memperkuat pertahanan, Conte malah memasukkan Pedro yang menggantikan Fabregas. Seorang gelandang diganti dengan penyerang sayap? Namun begitulah Conte: memasukkan penyerang untuk bertahan.

Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Chelsea tetap menang. Malah ketika bertahan mereka bisa menambah gol pada menit 89.

Namun begitulah Conte: alih-alih bertahan, ia malah memasukkan penyerang.

7/

Mungkin saat ini banyak yang membenci Chelasea. Apalagi saat (Tuan Besar) Roman Abramovich datang. Ia tidak hanya menggelontorkan dana (dengan cuma-cuma) kepada siapapun pelatihnya, tapi ia juga memberi tanggungan beban juara. 

Makanya tidak heran bila Chelsea mudah sekali gonta-ganti pelatih. Mourinho sampai dua kali malahan. Sangat berbanding lurus: beli banyak pemain mahal maka menghasilkan banyak gelar (5 kali juara Liga Inggris dan 1 kali Liga Champions).

Banyak tim yang akhirnya mengikuti. Yang terdekat sudah tentu Manchester City. Itupun hanya dua kali: 2011/2012 dan 2013/2014. 

Uang nyatanya bisa menghasilkan prestasi (jika ini disempitkan hanya gelar juara), tetapi juga membangun kultur baru, era baru, serta menumbuhkan pendukung baru yang menyebalkan. Seakan mereka lupa, dulunya Chelsea bukanlah (si)apa-(si)apa.

Menurut Jim Weeks yang membuat laporan "Panduan Objektif Supaya Kalian Jatuh Cinta pada Chelsea" menyebutkan bahwa, Chelsea pernah hampir bangkrut. 

Pada musim 1982, bahkan hanya mampu menutup musim 3 poin di atas tim yang akan degradasi ke divisi tiga. Betapa menyedihkan. 

Tidak sampai di situ, sikap pendukungnya pun sama menyedihaknnya. Masih dari laporan Jim Weeks, pemilik Chelsea ingin membuat pagar listrik di Stamford Bridge untuk membuat jera holigan Chelsea yang brutal dan meredam aksi kekerasan. 

Para pendukung Chelsea mengingat masa-masa itu sebagai "masa tidur". Dan tidak sedikit yang merelakan tim ini lebih baik bangkrut saja. 

Jadi jika kalian merasa beugah dengan laku pendukung tim bola tanah air yang kerap ricuh, berdoalah: akan tiba masanya (Tuan Besar) Roman Abramovich datang dan menyelamatkannya.

8/

Satu-satunya yang membuat terkejut dari kemenangan Chelsea musim ini adalah kepindahan Oscar ke Shanghai SIPG pada jeda transfer lalu. Dan, anehnya semua seperti tidak terjadi apa-apa pada skuat Chelsea. 

Ada yang berubah? Sedikit. Apa mengubah keseluruhan permainan (kedalaman tim)? Sepertinya tidak. Kepindahan Oscar tak ayal pemain yang cidera dan Conte (sepertinya) sudah mengantisipasi itu jauh-jauh hari. 

Tidak ada improvisasi laiknya Wenger yang tiba-tiba memasang Chambo menjadi gelandang kala kehabisan pemain yang diterpa cidera. Satu kali berhasil, sisanya gagal.

Malah setelah kepergian Oscar, kita seperti dengan tenang dan senang melihat duo Kante dan Matic di lini tengah bukan?

9/

Sepak bola sudah jadi industri. Separuh Kota Bandung bisa berbondong menuju stadion dan selebihnya menonton di setiap sudut kota. Begitu juga dengan pendukung tim mana pun. 

Sepak bola seakan jadi identitas diri yang jika kamu sudah temukan kamu akan pertahankan mati-matian. Itulah sepak bola sekarang ini. Sepak bola modern yang tidak hanya kita nikmati di lapangan selama 2 x 45 menit. 

Chelsea adalah tim (seingat saya) pertama yang memulai itu di Inggris. Vialli memulainya dengan kesederhanaan dan (Tuan Besar) Roman Abramovich dengan uang. Keduanya sama: intinya adalah gelar juara. 

Tidak perlu membandingkan dengan Man. United. Yang mereka lakukan itu membangun kerajaan, bukan tim sepak bola. Tidak usah bandingkan Man. United sudah. 

Anggap saja Man. United itu Majapahit di tanah Nusantara. Bahwa dulu pernah ada Kerajaan Majapahit di sini. Berkuasa dan tiada bandingannya. 

Sepak bola modern tidak begitu. Sepak bola modern adalah pendukung mendapat apa yang ia mau —tropi juara— dan pemilik klub mendapat keuntungan berlipat dari sponsor. Pemain dan pelatih hanyalah wayang yang tengah dimainkan. Lakonnya: Sepak bola Modern ala Chelsea.

10/ 

Tapi Chelsea juara musim 2016/2017. Ya, barangkali ini yang dimaksud sepak bola modern: gelar juara adalah segalanya. Dan ini, tentu saja, yang tidak bisa ditafsir Wenger tentang sepak bola modern.

11/  

Conte adalah pelatih pertama menjuarai EPL dan Twitter membuatkan emojinya: #ChelseaChampions. 

Saya jadi membayangkan, apabila Twitter masih ada dan bertahan, kira-kira apa yang akan mereka buat jika Arsenal juara? Mungkin sebuah fitur yang berisi cara-bertahan-lama-menunggu. Fitur itu bisa juga digunakan oleh mereka yang PHP (Penikmat Harapan Palsu).

Perpustakaan Teras Baca, 22 Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun