Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Serupa Puteri Malu

11 September 2016   14:02 Diperbarui: 11 September 2016   17:47 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IA AKAN MENUTUP dirinya ketika disentuh. Begitulah bunga Puteri Malu. Kadang bisa tumbuh di sembarang tempat, di semak-semak yang ditumbuhi ilalang, di retakkan lapangan yang lama tidak pernah dipakai. Di mana saja. Yang pasti tidak ada seorang pun yang benar-benar niat menanamnya, kecuali Pak Badrun.

Pak Badrun bukanlah petani, bukan juga pecinta bunga-bunga. Ia hanyalah seorang yang kesepian.

Pak Badrun tinggal sendiri di rumahnya. Istrinya telah lama meninggal, sedangkan anak-anaknya sudah berkeluarga semua. Rumah Pak Badrun tidak jauh dari lapangan bulu tangkis. Satu-satunya lapangan bulu tangkis di kampungnya. Dulu, lapangan itu selalu ramai, selalu dipakai setiap malam Sabtu atau Minggu pagi oleh warga sekitar. Namun, semenjak tidak ada lagi tayangan pertandingan bulu tangkis di televisi dan minimnya prestasi, jadilah lapangan itu sepi.

Kali pertama Pak Badrun melihat bunga Puteri Malu, ya di lapangan itu.  Bunga itu tumbuh di retakan garis paling luar sebelah selatan bagian lapangan. Waktu itu tak sengaja Pak Badrun menginjak duri bunga Puteri Malu. Telapak kakinya tertusuk. Sambil meringis kesakitan, ia coba mencabut duri itu. Bunga itu tampak hancur, tak berbentuk. Tapi, ketika duri itu selesai dicabut, bunga Puteri Malu kembali mengembang. Seperti hidup lagi.

"Andai manusia bisa seperti ini," ujar Pak Badrun sendiri. "Walau sudah diinjak, tapi bisa bangkit kembali."

Sore sudah hampir menuju penghabisan. Malam segera datang. Kalong-kalong liar berterbangan di antara pepohonan. Ia pulang ke rumah dengan langkah terjinjit.

BARANGKALI PAK BADRUN lupa kalau ia dulu pernah baca sebuah sajak ini di koran cetak: seharum adapun bunga, secantik apapun kelopaknya, selalu ada duri, yang tanpa kau sadari, bisa menusuk sakit dan jadi luka baru yang mesti diobati.

Kini Pak Badrun tengah mencari bunga Puteri Malu untuk ditanam di halaman belakang rumahnya. Halaman depan sudah penuh ditanaminya. Tepat di dekat gorong-gorong ia melihat bunga Puteri Malu. Diambilnya sekop kecil dari dalam tasnya untuk mencungkil tanah. Dibuatnya bentuk persegi mengelilingi bunga Puteri Malu, lalu setelah berhasil dicungkil, dimasukkan kantung kresek ke dalam tas.

Sangat hati-hati ia memasukkan bunga itu. Tidak boleh ada akarnya yang keluar menjuntai dari tanah. Bisa 'mati' sungguhan nanti. Pak Badrun pulang. Perutnya sudah berbunyi kelaparan.

Memasuki rumahnya pun ia tidak kalah hati-hati. Bunga-bunga itu sudah menutupi halamannya tiap sisi. Hanya ada jalan setapak yang dibuat Pak Badrun dari kayu: dari pagar menuju pintu masuk. Sebelum membuka pintu, Pak Badrun menyentuh satu bunga Puteri Malu. Bunga itu menguncup, ditunggunya kembali terbuka, baru setelah itu ia masuk --sembari merekahkan senyum.

Kesepian, barangkali, bisa lebih membuatnya menerima apa saja. Apapun yang dilihatnya tampak lucu, seakan mengajaknya bercanda. Sampai pada akhirnya ia menyadari: sepi adalah satu-satunya luka yang belum bisa ia obati.

KEDUA ANAK PEREMPUANNYA menikah hampir di waktu yang bersamaan. Hanya diselingi satu minggu. Tepatnya: sebelas tahun lalu.

Pernikahan itu pun bukan tanpa alasan. Kedua anaknya jengah dengan perilaku ayahnya, Pak Badrun itu, yang kerap bertingkah aneh kala Ibu meninggal. Kadang selama satu minggu ia kuat tidak makan. Namun setelahnya ia akan sakit-sakitan. Kadang juga tidak pulang. Kalau ini bisa hampir satu bulan. Entah ke mana dan dengan siapa. Sama sekali tidak ada kabar beritanya. Pernah kedua anaknya mencari sembari tanya sana-sini. Yang didapati hanya jawaban kosong. Tidak jelas batang hidungnya.

Barulah ketika kedua anaknya menikah Pak Badrun sedikit berubah. Paling tidak ia jadi sering di rumah dan makannya tidak susah. Itu pun saat kedua anaknya pergi meninggalkan rumah. Pak Badrun amat menikmati kesepiannya.

Selama sebelas tahun itu kedua anaknya tidak sekalipun datang menjenguk. Atau untuk hal paling remeh sekalipun: menengoknya. Pak Badrun hanya tahu kedua anaknya telah punya anak. Masing-masing satu. Ya, bahkan cucunya saja tidak tahu kalau mereka masih punya kakek. Kata 'Kakek' seakan kata asing yang jarang mereka dengarkan di setiap obrolan dengan orang tua masing-masing.

Meraka tidak ingin tahu --atau, memberi tahu lebih tepatnya-- kalau sosok Kakeknya punya kepribadian aneh. Takut anak-anak mereka malu.

DI ATAS MEJA sudah tersaji hidangan yang amat lengkap. Nasi yang masih mengepul hangat, ayam goreng, sayur sop, tempe dan tahu goreng, sambal terasi, lalapan dan tidak lupa kerupuk. Pak Badrun sedikit bingung, siapa yang menyajikan semua itu?

Diletakkan tas berisi bunga Puteri Malu itu di pojok ruang tamu. Langkahnya pelan, menuju meja makan. Dari kamar mandi, keluar anak sulungnya, sembari menggandeng seorang bocah lelaki tanpa mengenakan celana. Sedangkan dari kamar, anak bontotnya yang baru saja memberi ASI ke anaknya. Anak itu terlelap di kamar Pak Badrun. Ketiga saling pandang.

"Ayah," kata si Sulung.

"Ayah," kata si Bontot.

Keduanya menghampiri Pak Badrun. Memeluknya erat. Anak Si Sulung ikut mendekat ke Mamaknya. "Ini Kakekmu, Nak," ujar si Sulung sembari meneteskan airmata.

Tangan Pak Badrun disentuh anak itu, cucunya, dan ada getar di tubuhnya yang kentara. Matanya terpejam.

KEDUA ANAKNYA DATANG tadi pagi setelah mendengar berita kalau ada seorang laki-laki tua tewas di pinggir jalan tapi tidak diketahui identitas dirinya. Kedua anaknya khawatir dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Sebab ciri-ciri yang disebutkan persis dengan ayahnya.

DARI DALAM KAMAR terdengar tangis bayi. Mata Pak Badrun pun dibuka. Seakan ia tersadarkan sesuatu. Tangan kanannya masih menggenggam jari cucunya. Pak Badrun menggiring cucunya masuk kamar, menuju sumber suara tangis itu.

Pak Badrun duduk di sisi ranjang sambil melihat dengan jelas sesosok bayi yang tengah merengek. Diangkatnya bayi itu. Digendong dengan kehangatan yang rindu.

Tak ada lagi sepi dan kesepian, di rumah itu, di dalam diri Pak Badrun.

Perpustakaan Teras Baca, 11 September 2016

*) Terinspirasi dari Cerita Anak yang ditulis Seruni "Puteri Malu" untuk eBook #Jilid4 @TerasBaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun