Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikayat Karnaval

12 Agustus 2016   21:34 Diperbarui: 12 Agustus 2016   21:45 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tiada ciptaan Tuhan yang sia-sia,” sebuah kata sambutan dari Prof. Dr. Komaruddin Hidayat untuk buku Hikayat Pohon Ganja – 12.000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia.

Ada yang paling berkesan ketika kegiatan Karnaval ‘Bhineka Tunggal Warga’ 17 Agustus 2014 lalu: perbedaan yang mampu berdampingan. Saya katakan ‘mampu’ karena Karnaval yang diselenggarakan Panitia Karang Taruna RW 14 Perumahan Bambu Kuning itu mengusung tema masing-masing daerah di Indonesia yang berbeda. Berbeda-beda tapi warga tetap bersatu; Bhineka Tunggal Warga.

Suatu konsep karnaval yang menurut saya biasa saja ini, dapat diimplementasikan dengan baik oleh peserta dari setiap RT dengan menunjukan kelebihan daerah tersebut. Ada yang mendapat tema Bali, Jawa Barat, DkI Jakarta, dan lain-lain tentunya. Tanpa saling mengejek atau merendahkan suatu daerah, para peserta Karnaval tampak bersuka ria dalam perbedaan-perbedaan itu. Berjalan beriringan dari depan Perumahan sampai lokasi tujuan. Duduk berdampingan sambil menikmati acara. Menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama dengan lantang di Lapangan. 

Bukankah kita dengan yang lain sama-sama berbeda? Jadi untuk apa melihat perbedaan itu sebagai suatu ancaman atau kecaman?

Ada yang hitam, dan ada yang putih. Ada yang di atas, dan ada yang di bawah. Ada yang Hindu, Budha, Islam, Kristen. Semua berbeda. Untuk apa kita mesti sama dengan yang lainnya? Tidak ada keharusan, bukan? Perbedaanlah yang membuat semua terlihat indah. Seperti Gereja Katedaral yang berseberangan dengan Masjid Istiqlal. Keduanya saling berhadapan, layaknya sepasang kekasih yang hendak ciuman.

***

Saya ingat betul, ketika baru berumur sekitar delapan tahun, dulu pernah dibangun sebuah Gereja di Perumahan Bambu Kuning. Saya tidak pernah melihat berntuk rupanya, yang saya tahu, Gereja itu hancur. Seperti habis terkena sebuah ledakan yang cukup besar. Bangunannya berwarna hitam, kacanya pecah berserkan, dan atapnya hilang sebagian. Atau, lebih mirip sebuah pabrik yang sengaja dibakar agar mendapat ganti-rugi dari pihak asuransi. Seperti itu

Dulu sekali saya tanyakan penyebab kenapa Gereja itu bisa hancur sedemikian rupa. Dan jawabannya beragam, tapi intinya sama: karena gejala alam. 

Ketika saya berumur delapan tahun, yang saya bayangkan adalah sebuah kejadian alam yang cukup besar, seperti tersambar petir dan bangunannya hangus terbakar. Setidaknya petir mampu menghancurkan; begitu yang saya tahu dari film-film Power Ranger,Ultraman, dan sebagainya.

Namun, lambat laun saya tumbuh besar, dan rasa keingintahuan saya yang semakin besar juga tentang Gereja itu, akhirnya ada juga yang mengatakan kalau dulu Gereja itu sengaja dirusak. Sengaja dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak suka adanya Gereja di sana.

Sengaja itu berarti adanya suatu tindakan yang dilakukan dengan keadaan sadar, tanpa paksaan, dan bisa dipertanggung-jawabkan. Dan bila tindakan itu menyentuh ranah hukum pidana, artinya juga itu bisa dipidanakan, bukan? Baik itu pihak provokator maupun otak dibalik suatu tindakan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun