Ada kata "pamer" dalam pameran. Bukan semata pamer dalam konotasi negatif, pamer di sini semacam pembuktian hasil karya yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Saya sudah berada di antara orang-orang yang tengah mengambil gambar dan mendengar dongeng-dongeng tentang lukisan yang dipamerkan. Saya datang sedikit terlambat, jalan Jakarta memang tidak bisa ditebak. Ketika saya ingin mengambil gambar, saya sedikit kaget, saya kira seorang laki-laki yang tengah mendongeng itu Agus Noor, ternyata bukan, hanya mirip. Mikke Susanto namanya, seorang kurator lukisan kenamaan.
Mulai hari ini (2/8) sampai 30 Agustus 2016 diselenggarakan Pameran Lukisan "17 | 71: Goresan Juang Kemerdekaan" di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia. Sekitar 28 lukisan yang dipamerkan di sini, "Sebenarnya ini baru 1% jumlah lukisan yang Istana Kepresidenan miliki, selebihnya (tidak ikut dipamerkan) karena kapasitas gedung ini yang kurang memadai," kata Mikke Susanto memulai dongengnya.
Dari total 28 lukisan, pameran ini dibagi dalam 3 (tiga) subtema: potret tokoh-tokoh penting perjuangan (berada di pintu masuk), kondisi sosial revolusi (ruangan tengah gedung), dan kenusantaraan (bagian belakang gedung).
Baru saja saya ingin melihat lukisan Sudjono Abdullah, Diponegoro, Mas Mikke (maaf memanggilnya "Mas", supaya terasa akrab: sebab kami sesama kurator dan gondrong, yang beda bidang profesi saja) sudah mengingatkan, "Tidak usah terlalu lama melihatnya, melihat lukisan juga butuh dan memyita energi. Masih ada 20-an lukisan lagi,"
Energi? Apa punya urusan energi dan melihat lukisan? Jujur, saya tidak tahu-menahu soal lukisan. Pengetahuan saya sebatas dari satu referensi film: Mr. Bean.
Dari kelima lukisan Potret Tokoh-tokoh Perjuangan, saya mengagumi lukisan Affandi, H.O.S Tjokroaminoto. Beliau adalah guru Bung Karno dan bagi saya, Affandi cermat betul melukis sosoknya. Bukan hanya sosok, namun pada latar lukisannya seperti ada keriuhan rakyat, kehidupan yang barangkali terjadi pada masa itu.
"Lukisan ini (potret H.O.S Tjokroaminoto) sangat khas Affandi, perhatikan, ada tapak kaki," ujar Mas Mikke, sambil menunjuk yang tadi dimaksud. "Dan ini," lanjutnya. "Saya menduga orang yang kurus-kering pada sisi kanan lukisan adalah Affandi. Seperti yang kita tahu, Affandi adalah pelukis yang miskin," Mas Mikke tertawa dan dalam hati saya merespons: Oh!
Lambat laun saya jadi paham bagaimana asyiknya melihat lukisan: mencari dan menemukan tanda-tanda yang ditinggal perupa pada karyanya.
Melangkah masuk ke ruang tengah, ada beberapa lukisan di sana. Kondisi sosial masa-masa Revolusi. Tentu ada lukisan Sang Maestro, Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro. Saya ingat, ingat betul lukisan itu. Lukisan yang banyak di buku IPS semasa SMP.
"Lukisan ini terinspirasi oleh pelukis Belanda Nicholaas Pienemaan dengan judul Penyerahan Diri Dipo Negoro kepada Letnan Jenderal H. M. de Kock, 28 Maret 1930." Mas Mikke mulai menerangkan. "Namun yang jauh lebih menarik lagi," ujar melanjutkan Mas Mikke, "penggunaan kata 'Pangeran' pada lukisan Raden Saleh itu penting, sebabnya Diponegoro adalah seorang Pangeran dan pada lukisan itu digambar Raden Saleh dada Pangeran Diponegoro yang dibusungkan, tanda perlawanan, bukan penangkapan yang biasa."
Kemudian, ada juga lukisan Bung Karno, Rini. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan siapa sosok yang dilukis Bung Karno itu.
Bung Karno adalah satu-satunya presiden Indonesia yang gemar melukis. Kegemarannya pada dunia lukis mulai ditekuninya pada umur 26 tahun. Dan lukisan Rini, dibuat Bung Karno di Bali. Dullah, pelukis Istana Presiden, menjadi saksi atas lukisan itu. Berikut kesaksiannya dalam buku koleksi lukisan Sukarno:
"Selang beberapa waktu jang lalu Bung Karno pergi beristirahat di Bali. (...) Seperti biasa Dullah di Bali mentjoba membuat lukisan. Tetapi baru sadja garis-garis tjenkorongan yang belum berarti telah ditinggalkan kembali ke Jakarta. Pada bulan Nopember masuk Desember tahun 1958 Bung Karno kembali lagi ke Bali beristirahat selama sepuluh hari. Dullah tidak ikut. Tahu-tahu selama sepuluh hari itu Bung Karno melukis menjelesaikan sketchnya Dullah hingga selesai."
Ketika Mas Mikke mengajak untuk melihat lukisan yang lain, saya masih berdiri memerhatikan lukisan Bung Karno ini. Saya pikir-pikir, mirip juga dengan lukisan yang ada di film Mr. Bean itu: Whistler's Mother. Pada dua lukisan itu sama-sama menghadap samping dan kedua tangan yang menopang di atas pahanya. Saya tersenyum sendiri membayangkan proses kerja Bung Karno yang dalam bayangan saya seperti apa yang dilakukan Mr. Bean pada filmya itu. Saya gemar berkhayal memang.
Pada subtema terakhir: Kenusantaraan. Tema ini dianggap penting oleh Mas Mikke, "Karena inilah (kekayaan Nusantara) yang membuat Orang Asing berebut memiliki Indonesia."
Saya sontak tertawa tatkala melihat lukisan Surono, Ketoprak. Entah karena apa, yang jelas lukisan ini tampak menghibur sekali. Ada sebuah pertunjukan Ketoprak, orang-orang yang antre di loket karcis dan di sisi panggung ada beberapa orang yang tengah buang air kecil. Realistis sekali, amat Indonesia.
Dari banyak lukisan yang ada pada subtema ketiga ini, saya pun kagum pada lukisan Diego Rivera, Gadis Melayu dengan Bunga. "Ini merupakan rayuan maut Sukarno kepada Presiden Meksiko, Lopez. Berkat pengakuan Guntur Sukarno, lukisan ini tidak akan diberikan kepada siapa pun dan bersejarah bagi bangsa dan rakyat Meksiko. Entah bagaimana caranya, Presiden Lopez mengabulkan permintaan Sukarno dan lukisan itu ke Indonesia," kata Mas Mikke menerangkan kronologi lukisan itu.
Belakangan, kini Meksiko sedang mengumpulkan lukisan-lukisan Diego Rivera yang berceceran di seluruh dunia. Sebab nama Diego Rivera adalah satu dari nama-nama Maestro perupa Dunia. Namanya ada di tiap buku peserta didik seni rupa di seluruh dunia. Senangnya, ada satu di Indonesia dan ini mungkin akan menyulitkan untuk merampungkan usaha pemerintah Meksiko. Sukarno memang pandai merayu.
Juga masih ada lagi lukisan Miguel Covarrubias, Empat Gadis Bali dengan Sajen. Baru saya ketahui, berkat lukisan ini yang dimuat di sampul depan buku "The Island of Bali" berefek pada dunia luar melihat Bali sebagai destinasi wisata dunia. Bisa dibilang Miguel Covarrubias adalah promotor Bali.
Mengakhiri dongengnya, Mas Mikke menerangkan dengan sedikit bergetar, "Pameran lukisan ini amat langka dan penting, karena untuk bisa melihat lukisan-lukisan ini di Istana Kepresidenan sangat sulit. Penjagaan dan perizinan, salah duanya. Tapi dengan datang ke pameran ini, warga bisa melihat langsung sisi lain Istana yang memiliki koleksi karya-karya berkualitas tinggi."
Barangkali, saya akan datang kembali dan mengajak Peang satu waktu untuk melihat koleksi lukisan Istana bulan ini. Ya, setidaknya bisa membuat Peang percaya diri karena gambar-gambarnya yang melulu aneh-bin-ajaib itu.
Perpustakaan Teras Baca, 2 Agustus 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H