Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Toilet adalah Ruang Baca Pribadi

29 Juli 2016   23:29 Diperbarui: 30 Juli 2016   03:49 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain perpustakaan dan toko buku, toilet adalah tempat yang baik --hampir mendekati nyaman-- untuk baca buku.

Membaca itu baik. Apa saja asal bisa dibaca: buku, koran, sampai balasan pesan dari mantan --walau sedikit menyakitkan, namun mengenangkan. Tapi tidak selama yang baik itu bisa dilakukan semena-mena dan di mana saja. Saya pernah ditegur ketika membaca buku saat jam kerja, meski ketika itu saya sedang istirahat. Meski saya lebih memilih membaca buku daripada makan ke kantin. Meski sebatas teguran, namun lebih mirip larangan.

Pada saat itu juga saya tidak pernah lagi membaca di meja kerja. Walau pun dekat meja kerja ada koran harian atau majalah mingguan. Itu pun jarang.

Saya jadi teringat bagaimana Bung Hatta ketat sekali bila ingin membaca. Sebelum mulai, Bung Hatta akan pergi mandi, lalu mengenakan pakaian terbaik dan mamakai sepatu. Seperti hendak kencan dengan pasangan --jomblo pasti tidak tahu itu. Setelah rapih, barulah Bung Hatta duduk dan pergi membaca.

"Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena buku aku bebes," kata Bung Hatta. Belum ada orang yang saya tahu sebegitunya dengan buku. Ya, hanya Bung Hataa itu.

Mau baca buku saja mandi dulu. Rapih-rapih dulu. Pakai sepatu. Saya, barangkali bisa melakukan itu sekaligus di hari pernikahan saya nanti. Saya harap kamu hadir.

Tidak hanya saya, Gopah juga. Gopah juga pernah ditegur saat membaca buku di Mushala.

Hari itu, di Mushala, sedang diadakan kerja bakti hari minggu. Gopah dan saya hadir. Gopah yang kerja bakti, saya kebagian main air. Waktu siang, sebelum masuk sekolah waktu dzuhur, semua yang ikut kerja bakti istirahat. Beberapa pulang untuk makan, beberapa lainnya bertahan sekadar ngopi-ngopi di halaman Mushala.

Gopah membaca buku kisah Islami yang tebalnya sebesar bantal. Gopah bersandar di salah satu tiang Mushala yang di bagian luar. Saya duduk-duduk saja di rumput halaman. Seorang datang menegur Gopah dan memintanya untuk tidak membaca di Mushala. "Lebih baik baca Quran."

Gopah menutup buku yang sedang ia baca dan meletakkan kembali di lemari. Saya diajak Gopah pulang.

Sepertinya saya pernah menceritakannya. Entah, saya lupa.

Tapi semenjak ditegur seperti itu dan ingat Gopah, saya bukannya manut, malah makin mencari celah-celah lain, semacam tempat persembunyian untuk tetap bisa membaca. Apalagi saat saya sedang tidak ingin ke mana-mana. Misalnya: toilet.

Toilet umum memang bukan tempat buang air yang nyaman. Namun, bagi saya, toilet umum seperti yang ada di kantor-kantor, adalah tempat yang baik untuk baca.

Alasan utamanya mungkin karena tempatnya amat privat, sudah begitu bersih. Nikmat mana lagi yang hendak kau dustakan saat baca buku tidak ada yang ganggu?

Pernah, belum lama saat teguran itu saya terima, saya benar-benar ingin membaca cerpen Agus Noor yang dimuat di Radar Bogor. "Pencuri Salib" judulnya, moga benar itu judulnya. Saya bawa koran itu ke toilet dan, tidak sampai setengah jam selesai.

Ada yang saya tidak suka itu jika terbawa emosi saat membaca di toilet. Untuk cerpen "Pencuri Salib", misal. Selesai membaca itu, keluar toilet dan ingin sekali memarahi orang lain yang sering menyepelekan rumah ibadah.

Atau, buku-buku yang baru saja dikirimkan. Mereka, buku-buku itu, seperti tidak sabar untuk dibaca. Saya sering langsung ke toilet --yang pasti setelah memotonya untuk memberi tahu pengirim kalau buku telah sampai-- dengan menyimpannya di balik baju. Cukup baca beberapa lembar saja.

Dan belum lama ini, hari senin kemarin, membaca cerpen Paknya Triyanto Triwikromo yang dimuat di harian KOMPAS. Sebuah cerpen yang dituju untuk Gus Mus dan almh. istrinya: "Setelah 16.500 Hari".

Baru saja saya baca bagian pertama, mata sudah terasa berat. Sedikit berkaca-kaca. Saya bangkit dari meja kerja dan melipat cerpen itu ke kantong. Saya ke toilet untuk menyelesaikannya. Dan benar saja, dari dalam toilet saya benar-benar menangis. Lelaki lemah memang saya ini. Gampang sekali bersedih untuk hal-hal seromantis itu.

Cerpen itu, masih di toilet, saya baca ulang. Malah makin sedih sejadi-jadinya.

Untuk menetralkan, saya berpikir yang tidak-tidak saja: mengapa bisa Sapardi bilang kalau dia tidak bisa sedih --atau, menjaga jarak emosionalnya-- ketika membaca? Pernyataan itu Sapardi katakan saat ditanya perasaanya ketika diberi hadiah ulang tahun berupa cerpen oleh JokPin.

Ia biasa saja ketika diberikan hadiah itu. Senang, sudah pasti, tapi cerpen JokPin juga sedih kok ceritanya. Saya saja hampir mewek bacanya.

Entah, ketika itu saya tidak bisa berpikir apa-apa. Sedihnya cerpen Paknya Triyanto masih terbayang. Keluar dari toilet dan kembali ke meja kantor, saya hanya tertunduk beberapa saat. Pura-pura membuat mata merah, supaya dikira ketiduran. Akting saya berhasil.

Perpustakaan Teras Baca, 29 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun