Namun, saya membaca buku Fisika saat sedang buntu-buntunya menulis. Lewat menjawab soal dan rumus itulah perlahan saya tenang. Ini perlu dipertegas: saya mengerjakan soal dan rumus secara asal, saya tidak peduli benar-tidaknya, yang jauh lebih penting saya bisa menjawabnya.
Semangat, pada titik tertentu, bisa menjelma nafsu.
Suatu ketika, saat saya sedang gencar-gencarnya promosikan perpustakaan di media sosial, seorang yang tidak saya kenal mengubungi.
"Konsepnya unik, boleh saya ikut bantu-bantu?" tanya orang itu. "Mengajar untuk anak-anak SD juga gapapa. Gapapa gak dibayar juga."
Saya diam. Bingung ingin merespon apa. Sampai akhirnya kami jadi teman. Ia seorang wartawan radio di Bogor, sempat jadi relawan untuk beberapa komunitas sosial. Namun sayang, pertemanan kami tidak menghasilkan apa-apa. Semangat yang berapi-api melenyapkan semua.
Sudah banyak yang seperti itu. Saya terima dengan selapangnya pintu, namun mereka pergi tanpa permisi. Biarlah, sebab yang abadi hanya waktu, kita fana!
Oia, sampai lupa. Hari ini adalah hari di mana saya untuk kali pertama mengumpulkan orang-orang membuat perpustakaan. 27 Juli, 5 tahun lalu. Tanpa mereka, perpustakaan ini pin tetap ada. Sabar saja, sebab saya bukan apa-apa.
Perpustakaan Teras Baca, 27 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H