Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Sesabar Rindu, Sebab Semangat Itu Nafsu

27 Juli 2016   23:19 Diperbarui: 27 Juli 2016   23:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah yang bisa lebih sabar dari Rindu? Ia adalah yang sering kita lihat berdiri di simpang jalan dan mampu berlama-lama di sana: menoleh, bertemu masa lalu; mengawang, sudah pasti diam menunggu. Sesabar itu kah kamu?

Atau perrnah kamu bayangkan sebuah rumah atau daerah atau kota atau negara, dibangun dengan tergesa? Sekarang sudah ada ini, besok sudah ada itu. Segala menjadi serba cepat, tanpa sekalipun bisa menikmatinya barang sesaat. Mengapa mesti cepat, kalau menjadi lamban pun adalah pilihan?

Saya ingin menjadi Rindu. Sesabar Rindu.

Saya mengelola perpustakaan yang dibuat dengan semangat bergelora. Hampir tidak ada habisnya ide-ide setiap malam. Semakin sering air dipanaskan dan untuk membuat kopi hitam, semakin bergairah juga hormon mereka.

Si Anu ingin ini, maka ia merencanakan ini. Si Itu ingin itu, maka dikonseplah semuanya itu. Sedangkan si Pulan ingin ini dan itu!

Saya mengelola perpustakaan yang sudah hampir ditinggal semangatnya. Buku-buku bertambah, perawatan berkurang. Tidak perlu tanya pengunjung, lantai saja dibersihkan satu minggu sekali. Tetap bersih.

Barangkali ini akan jadi ingatan tertua saya kelak: ketersediaan buku-buku mendadak berlimpah, orang-orang yang datang lalu menitipkan bukunya juga semakin banyak, satu malam saya bisa dapat 20 judul buku!

Satu per-satu buku saya sortir. Saya buat tiga kategori: layak baca, bagus wujudnya dan disahkan saja. Perbandingannya pun akhirnya timpang. Buku yang layak baca 20 persen, buku yang bagus wujudnya 30 persen. 50 porsen lainnya saya sisihkan. Pernah saya iseng hitung beratnya: 1 kwintal. Atas kesepakatan bersama buku-buku itu kami loakan -sistem transaksi jual beli barang bekas.

Saat ini saya sedang bersandar di tembok dan radio Prambors dinyalakan. Bila milihat keluar lewat jendela, sering kita jumpai bulan sedang leha-leha gelantungkan di langit hitam. Itu tempat favorit saya, di atasnya adalah buku-buku peserta didik. Buku itu awalnya dijajarkan berdiri supaya mudah dibaca, sampai kini akhirnya ditumpuk sesuka hati saya.

Kadang saya masih baca-baca buku pelajaran. Lebih sering Biologi dan Fisika. Kedua buku itu enak betul dibaca kalau kita lagi selow. Biologi, misal: banyak sekali istilah dalam bahasa latin yang menggelitik. Sulit dibaca, panjang, namun ketika diartikan biasa saja. Dari Biologi, saya dikenalkan "merukitkan sesuatu yang sederhana".

Lain cerita dengan Fisika. Saya membaca --ya, membaca, Fisika bukan sekadar hitung-menghitung belaka-- buku Fisika dengan rentetan kalimat dalam bentuk rumus. Saya ingin menjadi Bertrand Russel, seorang peraih Nobel Kesusteraan pada tahun 1950. Tapi, ya, Russel juga seorang matematikawan. Katanya, ia sangat berterimakasih pada ilmu-ilmu eksakta yang membentuknya hingga mempu menulis dengan ringkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun