Akhirnya ketemu juga di tumpukan rak buku Perpustakaan Teras Baca! Itu buku kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga" karangan Sitor Situmorang. Saya ingat betul, hanya buku ini yang saya beli dengan terpkasa.
Tentu saya ingin membacanya, tapi untuk memilikinya, waktu itu, saya rasa belum saatnya. Tapi buku teman saya itu keburu saya rusak. Bagian belakangnya sobek. Tanpa perlu na-ni-nu, saya bayar saja buku teman saya. Saya lebihkan 5ribu dari harga beli semula.
Tidak ada yang saya sesali sama sekali. Buku ini, kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga", memang pantas untuk dikoleksi. Setiap buku yang saya beli, saya hibahkan ke Perpustakaan Teras Baca.
Kali pertama merampungkan buku ini, yang ada dipikirkan saya: bila pun di sampul buku ditulis dengan nama orang barat atau nama latin, saya percaya. Membaca cerpen-cerpen Sitor seperti membaca karangan orang luar Indonesia. Cerita surealisme amat kental. Cara pandang karakter tiap tokoh dalam cerpen-cerpen sungguh sederhana. Sekilas, seperti membaca cerpen Ernest Hemingway atau, Gabriel Garcia Marquez. Sitor ada di antara keduanya.
Mungkin banyak yang mengenal Sitor Situmorang lewat puisi-puisinya. Ya, sebab Sitor memang Penyair. Ia, satu angkatan dengan Chairil Anwar: Penyair Angkatan 45. Begitu juga dengan saya. Puisi pertama Sitor yang saya tahu: Membalas Surat Bapak. Dibacakan pada salah satu ibadah puisi Malam Puisi Bogor.
Ketika Ibu meninggal
kutulis sajak
tentang derita --
Dunia melupakannya.
Kemudian kutulis cerita
bagaimana ia ke surga,
Dunia terharu --
Tentang duka yang tak sepatah.
Ada 23 cerita pada kumpulan cerpen "Ibu Pergi ke Surga". Namun, hanya dua cerpen yang selalu saya baca duluan kala saya baca ulang: "Kembang Gerbera" dan "Begitulah Selalu Kalau Hujan". Kedua cerpen itu sangat berkesan. Menggelitik dan penuh kritik.
"Kembang Gerbera" semacam pintu masuk yang ditawarkan Sitor pada pembacanya di buku ini. Pertemuan, kedekatan intim, perpisahan, dan bayang-bayang yang menghantui.
Jika melihat catatan editor, JJ Rizal, menyebutkan bahwa cerpen itu ditulis memang sebelum keberangkatan Sitor ke Eropa: Belanda dan Perancis. Pada akhir cerpen itu pun Sitor menuliskan "Besok aku harus terbang ke Barat."
Banyak dialog yang Sitor sajikan di cerpen "Kembang Garbera" daripada narasi. Dialog pendek yang pada akhirnya membentuk karakter "aku" dan "perempuan --yang katanya berinisial L. E, seorang staff juru bahasa H. Agus Salim pada masa revolusi."
Sama halnya dengan cerpen "Begitulah Selalu Kalau Hujan". Cerpen yang ringkas. Sebuah cerita yang Sitor tekankan dikawal: sedang ngantuk membaca surat kabar cerita ini kutulis. Membacanya cerpen ini akan terbayang sebuah dunia lindur seseorang. Seperti orang mengantuk.