Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menerima Dosa Masa Lalu Indonesia: Genosida 65

20 Juli 2016   23:26 Diperbarui: 29 Desember 2018   03:08 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: tibunal1965.org

Siang tadi (20/7/2016), sekitar pukul 14.00 WIB, telah dibacakan hasil putusan sidang International People's Tribunal 1965 (IPT 65) yang berlangsung 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Ya, butuh waktu 8 bulan pasca persidangan untuk Zak Yacoob, selaku Ketua Majelis Hakim menelurkan 9+1 tindak kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi pada Indonesia tahun 1965 dan setelahnya.

International People's Tribunal 1965 adalah sidang Mahkamah Rakyat Internasional yang berkonstrasi untuk  memeriksa juga mengadili orang-orang yang terlibat, maupun bertanggung jawab atas peristiwa 1965.

Hasil putusan sidang IPT 65 ini amat penting, setidaknya untuk mengingatkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi tahun 1965 belum diselesaikan. Hak-hak para korban, trauma yang sampai sekarang belum juga tersembuhkan, hingga pengakuan atas tindak kejahatan itu mesti diperjelas.

Saya sepakat pada apa yang JJ. Rizal, seorang sejarawan, kicaukan di twitter: "Bangsa besar bukan hanya terus menghormati jasa pahlawan, tapi berani hadapi dan terangi sejarahnya. Karena dengan itu tidak ingin terus gelap-gelapan."

Menghormati pahlawan beserta jasa-jasanya, yes. Namun, membiarkan sejarah tanpa pernah dikaji ulang, itu sama saja menerima tanpa pernah kita tahu asal-usul dan gunanya. Buat saya itu berbahaya.

Tentu ada yang mengecewakan saat jalannya sidang IPT 65 pada November 2015: kursi yang disiapkan untuk Pemetintah Indonesia selalu kosong. Padahal, yang menjadi terdakwa adalah Negara Indonesia.

Sumber Gambar: kanal YouTube tribunal1965.org
Sumber Gambar: kanal YouTube tribunal1965.org
Berikut 9+1 kejahatan yang dilakukan oleh Indonesia pada rakyatnya pada tahun 1965: (1) Pembunuhan. (2) Hukuman Penjara. (3) Perbudakan. (4) Penyiksaan. (5) Penghilangan Secara Paksa. (6) Kekerasan Seksual. (7) Pengasingan. (8) Propaganda. (9) Keterlibatan Negara Asing. (+1) Genosida.

Dari keseluruhan temuan yang Majelis Hakim dapat, akhirnya merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia supaya segera dan tanpa pengecualian:

*) Minta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara  dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara dalam kaitanya dengan peristiwa 1965.

*) Menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

*) Memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.

Kemudian yang menjadi pertanyaan: apa pemerintah mampu menjalankannya? Apa kita masih diminta menunggu lagi? Ini susah kali ke lima pergantian presiden. Apa temuan dan rekomendasi dari IPT 65 hanya selayang pandang?

Ini seperti mengingatkan kembali pada apa yang telah dilakukan Gus Dur waktu itu. Namun, memang belum diindahkan sepenuhnya. Sebab beliau datang dan melakukannya atas nama Nahdathul Ulama (NU). Gus Dur meminta maaf kepada seluruh keluarga korban 65.

Pada titik ini, tanpa pretensi apa pun --politik khususnya--saya amat mendukung langkah Gus Dur. Berani menerima dan mengakui peristiwa 65 sebagai sejarah. Sesuatu yang pernah terjadi. Dan nyata!

Hingga muncullah balas-balasabln surat antara dua sastrawan besar Indonesia: Goenawan Mohamad dengan Pramoedya Ananta Toer. Surat bermula dilayangkan GM (panggilan untuk Goenawan Mohamad), menganalogikan saat Nelson Mandela dipenjara dan ia tetap memaafkan orang-orang kulit putih yang memnjarakannya.

Kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. "Dengan meminta maaf,  Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tidak bisa dipertahankan dan tak usah. (...). Dengan mengakui ini dan meminta maaf, sungguh bukan perkara gampang." tulis GM saat itu.

Pram (sebutan untuk Pramodya Ananta Toer) pada saat itu tentu geram. Isi surat balasan itu, Pram mengingatkan bahwa ia bukanlah Nelson Mandela. Pram menghormatinya, tapi tak sedikit pun terpikir untuk menjadi dia (Nelson Mandela).

Sepenglihatan Pram, ketika itu, usaha yang dilakukan Gus Dur sekadar basa basi. Meminta maaf dan melakukan rekonsiliasi. Padahal, yang diinginkan Pram ialah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Sebab yang membuat Pram seperti apa yang kita tahu, adalah ketiadaan hukum.

Sebagai orang biasa yang tidak pernah telat bayar BPJS dan mengurus Pajak, tentu saya menerima segala dosa-dosa --walau saya sadar: urusan dosa adalah urusan Tuhan-- yang telah terjadi pada peristiwa 65. Perlu diakui oleh tidak, ini bukan semata untuk PKI sahaja, namun untuk hak hidup setiap rakyat.

Jika diminta meminta maaf, saya pun ingin melakukannya, dengan rela.  Kemudian mengadili para pelaku kejahatan mesti pula dilakukan, sebab Genosida 65 itu nyata!

Perpustakaan Teras Baca, 20 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun