Dan ngeliat instagram orang2 diluar sana sungguh ingin membuat saya ingin tutup akun *mudah putus asa* *serta minder* --@myARTasya, 11 April 2012, 11:00.
Itu satu cuit Artasya Sudirman yang saya simpan di twitter. Dulu, sewaktu ia masih jadi penyiar Motion Radio, juga salah satu penyiar idola saya. Dan dari sana juga, barangkali, yang membuat saya sampai sekarang tidak menggunakan instagram. Tapi, berkat instagram pula saya ingin berterimakasih: kini banyak orang mendadak jadi penyair.
Sampai sekarang saya tidak menggunakan instagram. Sempat punya, tapi saya lebih ingin melupakannya --bahasa kasarnya: menganggapnya tidak pernah ada hubungan apa-apa antara saya dengan instagram. Jujur, saya bukan penikmat foto yang baik. Boro-boro menikmati, suka saja tidak.
Apalagi jika mengingat mata kuliah "Dasar-dasar Fotografi". Semacam pengakuan dosa: saya memilih jadi asisten dosen yang mencatat nilai mahasiswa, supaya ketika praktik saya bisa mengakui hasil foto teman saya yang tidak dikira bagus dan menuliskan sendiri di kolom nilai saya. Jika kuliah sekadar mencari nilai, ya sesederhana itu; mudah.
Kembali ke Instagram. Saya kira, jauh sebelum Aan Mansyur membuat puisi jadi semakin populer sekarang ini lewat film AADC 2, instagram telah membumikannya. Dari mana saya tahu? Ya, sok tahu saja. Lebih baik sok tahu daripada sok move on dari mantan tapi tiap hari masih stalking akun media sosialnya.
Begini maksudnya. Sebagai penikmat yang-sebatas-hanya-suka-membaca-puisi justru saya senang. Semakin banyak penyair, maka berbanding lurus dengan jumlah puisi yang dihasilkan. Ketersediaan puisi-puisi untuk dibaca meningkat. Besar kemungkinan juga puisi akan semakin berkembang. Semula sebuah puisi barangkali dibuat dengan penuh kesunyian nan-kelam, kini, dengan adanya Instagram, puisi bisa lahir dari tangan-tangan yang sedang berbahagia.
Dapat satu objek, jepret and imbuhi dengan larik-larik yang bisa membuat orang terpikat. Taraaaaaa... satu puisi telah jadi dengan sekejab.
Ini juga menjadi keuntungan pada penjualan buku-buku puisi. Semula buku-buku puisi yang hanya satu-dua bulan, lalu raib dari toko buku. Paling tidak dengan kebutuhan menulis di Instagram, orang-orang akan berburu buku dan memperpanjang napas buku puisi di toko buku.
Ya, sudah waktunya kesusastraan Indonesia melihat penyair-penyair cyber di Instagram. Mereka semacam oase di tengah gelapnya jalan puisi selama ini. Sehingga tidak ada lagi kasus pencurian karya, seperti plagiasi yang pernah dilakukan Dwitasari kepada puisi Daeng Khrisna Pabichara.
Kemudian saya ingat kepada Joko Pinurbo yang selalu menggemakan mantra ini: Selamat menunaikan ibadah puisi. Ya, selamat dan terimakasih Instagram telah ikut meramaikan.