Akhirnya yang saya takutkan sejak dulu datang juga. Besok pagi, Peang masuk sekolah. Kelas 1 Sekolah Dasar.
Sadar atau tidak, itulah pintu masuk orang-orang dengan dunia pendidikan. Ada kontrak tidak tertulis di sana, yang mau-tidak-mau mengikat seseorang dengan sistem pendidikan. Saya takut Peang tidak sanggup mengikutinya.Â
Lebih umum, saya takut terjadi apa-apa pada hal yang mungkin bisa terjadi di kemudian hari. Sial, tak ada seorang pun yang mampu menghentikan waktu.
Setiap memasuki tahun ajaran baru, maka pada saat itu juga saya berharap ada perbaikkan. Saya percaya Pak Anies Baswedan mampu, tapi sayangnya saya tidak percaya sistem yang ada.Â
Sistem dikerjakan dan dikelola manusia, manusia tentu bisa berbuat tidak baik. Itu yang saya takuti: mereka yang secara sadar melakukannya, atau kita sering menyebutnya oknum.
Namun, baru kali rasa-rasanya kampanye dari Kemendikbud yang bagus, yang barangkali lebih "wuah" daripada memberi semangat untuk peserta Ujian Nasional: Hari Pertama Sekolah.Â
Sebuah upaya (atau mungkin gerakan) dari pemerintah supaya membuat sekolah jadi tempat menyenangkan.
Lewat kampanye ini, barangkali Kemendikbud ingin memutuskan dogma yang terus-terus menghantui para peserta didik: hari pertama sekolah itu selalu menakutkan. Tentu kami, tidak hanya saya pasti, akan mendukung penuh.
Sebab, adakah yang lebih menakutkan dari hari pertama sekolah?Â
Pemerintah, lewat Kemendikbud, menawarkan solusi untuk itu: dengan ikut mengantarnya langsung ke sekolah. Mendampingi. Ketakutan, saya kira, paling tidak butuh teman untuk sekadar menguatkan.
Saya termasuk orang yang takut di hari pertama sekolah. Khususnya, untuk masuk jenjang pendidikan baru. Dulu saya tidak diantar. Saya berangkat sendiri.Â
Pagi itu Gomah mesti menjual gorengan --risoles, tahu isi, dan lontong--di depan warung penjual sayuran. Sebelum itu memang Gomah sudah berdagang.
Dan ini juga mengingatkan saya pada cerita Pandji Pragiwaksono lewat bukunya "Nasional Is Me".
Pada buku itu, Pandji menjelaskan tahap-tahap di mana ia bisa begitu mencintai Indonesia. Salah satunya, lewat sekolah. Diceritakan semua tingakat dari SD sampai Kuliah, hingga secara langsung atau tidak membentukknya sampai menjadi sekarang ini.
Ada yang menarik saat di mana Pandji masuk SMP. Itu adalah kali pertama ia sekolah di sekolah negeri.Â
Dulu dari TK, kalau tidak salah, sampai SD di sekolah swasta. Yang terjadi: berbanding terbalik. Semua yang tidak ia dapat dulu di sekolah swasta, didapatnya di Sekolah Negeri. Dari diminta uang oleh kakak kelas, coret-coret meja, serta ditolak banyak wanita.
Namun yang membuat Pandji sadar adalah di Sekolah Negeri ia paham artinya seragam sekolah. Hanya dengan menggunakan seragam sekolah saja murid-murid sama secara derajat.Â
Tidak ada yang terlihat kaya atau miskin. Tidak ada pembeda-bedaan agama. Semua dapat perlakuan sama ketika sudah berseragam.
Tidak perlu ada semoga. Pendidikan memang mengenalkan kepada saya tentang apa itu harapan.Â
Namun, biarlah saya yang melakukan itu sendiri, dengan cara saya sendiri. Biar besok saya cukup mengantarkan Peang ke sekolah, meninggalkannya sebentar untuk urusan ini-itu dan menjemputnya pulang.
Dan besok juga, mintanya Peang, setelah pulang sekolah mampir dulu ke sekolah lamanya, Taman Kanak-kanak, menemui teman dan guru-gurunya di sana.
Perpustakaan Teras Baca, 17 Juli 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI