Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melamun di Sungai dan Buang Air

16 Juli 2016   20:43 Diperbarui: 23 Juli 2021   20:06 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desir air di sungai lamat-lamat membuat perut saya mules. Jadi ingin buang air besar. Sial, saya lupa caranya. Terakhir dan untuk yang pertama kali, ketika saya main ke rumah teman saya di Bogor. Ingat. Bogor Kota. Di sana, semua penduduknya masih menggunakan sungai untuk MCK.

Malam-malam tepatnya. Habis hujan dan tidak ada lampu penerang jalan. Untuk sampai sungai saya mesti menggunakan lampu senter. Sungai amat deras sehabis hujan. Di sungai itu tidak ada jamban! Saya mesti nangkring di sisi sungai. Kalau tidak mules-mules amat tidak akan lakukan itu. Bukan hanya kotoran yang keluar, saya pun takut khanyut dan nyawa saya ikut keluar dari tubuh. Tuhan masih ingin melihat saya terus memohon ampun rupanya. Buang air saya sukses.

Tapi kali ini saya lupa caranya. Apa mesti membuka semua celana; apa hanya sisakan celana dalam saja; apa saya bugil saja. Saya tidak bawa baju dan celana ganti-salin. Opsi ketiga saya pilih. Saya nangkring. Dari bawah air mengalir deras. Saya takut. Saya tidak fokus. Saya tidak jadi buang air. Saya geli sendiri melihat apa yang saya lakukan.

Tak lama Gopah datang. Menyusul kami berdua. Gopah mengajak kami ziarah ke makan kakek dan nenek saya. Lokasinya tidak jauh dari sungai, di kaki bukit tepatnya. Saya dan Peang mengenakan baju kemudian ikut Gopah.

Di kaki bukit itu ternyata memang tempat pemakaman. Namun sudah penuh. Makamnya ada di sisi paling kiri. Dua makam sebelum yang paling pinggir. Gopah bersimpuh, saya memejamkan mata --berdoa apa saja. Dalam hati, saya merasakan hal yang sama dengan saat saya melamun di sungai tadi. Ada getar. Seperti ada yang memeluk saya dari belakang.

Ketika saya mulai ada yang aneh, saya buka mata. Berhenti berdoa. Peang sedang menimpuki makam itu dengan batu kerikil.

Cirebon, 16 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun