Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Tiga Kali Dikira Baca Stensilan di Kereta

14 Juli 2016   23:29 Diperbarui: 15 Juli 2016   21:19 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyang fotoin: @KMLICHN

Hari ini saya ingin caper kepada netizen sekalian: bahwasanya saya punya buku kumpulan cerpen "Traffic Blues - Saat hujan deras & jalanan mulai tergenang". Kenapa memang mesti caper? Sebab caper, ijalah koenjti.

Bukan. Itu hanya bualan. Tapi apa netizen sekalian ada yang sudah baca buku tersebut? Barangkali sudah beberapa, karena cerpen-cerpen di buku itu tercecer dan berserakan di internet. Secara satuan, pastinya. Selebihnya, saya kira tidak. Alasannya sederhana: buku kumpulan cerpen "Traffic Blues - Saat hujan deras & jalanan mulai tergenang" adalah mahar Zen RS kepada Galuh Pangestri, yang kini jadi istri sekaligus ibu untuk anaknya.

Sebenarnya saya punya dua buku dari dua penulis yang memberikan maharnya ketika menikah berupa buku. Keduanya saya hibahkan ke Perpustakaan Teras Baca. Setidaknya, di sana, saya percaya buku-buku akan menemui pembacanya.

Buku ini adalah salah satunya. Satu lainnya, sebuah buku puisi judulnya "Pohon Duka Tumbuh di Matamu". Nanti pun netizen sekalian tahu siapa penulisnya dan bagaimana cara Si Penulis memberikan mahar itu. Tunggu saja tanggal maninya. Akan tiba satu masa....

Buku kumpulan cerpen "Traffic Blues - Saat hujan deras & jalanan mulai tergenang" saya dapat sekitar tiga bulan lalu. Awalnya buku itu hanya dicetak beberapa ratus eksemplar. Bentuk hard-cover dijadikan mahar, sedangkan soft-cover untuk para tamu undangan. Tapi rupa-rupanya ada yang tidak datang, kemudian "sisa" buku ini pun disimpan. Sekitar 20-an. Dan saya, atas izin Tuhan, ditakdirkan untuk memilikinya. Suratan takdir.

Saya semakin percaya, bahwa buku itu sendiri yang menemui pembacanya.

Saya hanya kesal. Ya, saya menulis ini dan ingin caper kepada netizen sekalian, dengan penuh kekesalan. Bagaimana tidak, ketika membaca buku ini di kereta, tadi, saya ditegur oleh salah satu penumpang. Awalnya saya tahu kalau seseorang di sebelah saya ikut membacanya. Saya lihat bayangannya di kaca jendela. Sampai pada akhirya:

"Kok judulnya ada payudara-payudaranya? Beli buku itu di mana?" kata penumpang itu.

"Buku ini tidak dijual di mana-mana, Pak. Ini mahar nikah,"

Belum selesai menjawab, penumpang itu langsung memotong, "Mahar kok buku, porno pula."

Sampai di titik itu, saya kesal. Kesal sekesal-kesalnya merasa kesal. Sampai di titik itu pula, seketika, saya membayangkan diri saya menjadi Rangga. Ingat fragmen ketika Rangga melemparkan pulpen kepada pengunjung di perpustakaan sekolahnya karena berisik dan mengganggu? Ya, saya lebih mirip tutup pulpen yang dilempar Rangga yang terpisah jauh dengan pulpennya.

Ini, kalau dihitung-hitung, sudah kali ketiga saya ditegur. Dulu, ketika membaca buku "Jakarta Undercover" anggitan Moamar Emka. Kedua, novel "Saman" anggitan Ayu Utami. Ketiga-tiganya saya dikira membaca buku stensilan di kereta. Hanya karena membahas tempat-tempat prostitusi; hanya karena ikut membaca adegan saat menggesek-gesekkan selangkangan pada tiang; hanya karena membaca judul yang ada payudaranya.

Hanya karena itu. Sebenarnya saya ingin tidak peduli. Dan tentu bisa saja. Toh, kami memang tidak saling kenal. Tapi akhirnya saya memilih mengalah, karena penumpang lain sibuk membaca obrolan di gadget masing-masing, yang barangkali sedang merayu-gombal mengucapkan moral. Barangkali juga, saya mesti belajar pada mereka: jika baca buku stensilan tempatnya bukan di kereta, tapi di kamar mandi --seperti masa muda mereka dulu.

Buku saya tutup dan mendengarkan lagu sekeras-kerasnya.

Perpustakaan Teras Baca, 14 Juli 2016 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun