Ini, kalau dihitung-hitung, sudah kali ketiga saya ditegur. Dulu, ketika membaca buku "Jakarta Undercover" anggitan Moamar Emka. Kedua, novel "Saman" anggitan Ayu Utami. Ketiga-tiganya saya dikira membaca buku stensilan di kereta. Hanya karena membahas tempat-tempat prostitusi; hanya karena ikut membaca adegan saat menggesek-gesekkan selangkangan pada tiang; hanya karena membaca judul yang ada payudaranya.
Hanya karena itu. Sebenarnya saya ingin tidak peduli. Dan tentu bisa saja. Toh, kami memang tidak saling kenal. Tapi akhirnya saya memilih mengalah, karena penumpang lain sibuk membaca obrolan di gadget masing-masing, yang barangkali sedang merayu-gombal mengucapkan moral. Barangkali juga, saya mesti belajar pada mereka: jika baca buku stensilan tempatnya bukan di kereta, tapi di kamar mandi --seperti masa muda mereka dulu.
Buku saya tutup dan mendengarkan lagu sekeras-kerasnya.
Perpustakaan Teras Baca, 14 Juli 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H