Tadi, barusan saja, di kereta, saya ditegur oleh seorang laki-laki. Sekitar 40-50 tahunan umurnya. Saya berdiri di gerobong dua, dekat pintu dan menyandarkan badan di sana sambil membaca koran KOMPAS Minggu.
Hari ini saya tidak bawa buku. Tadi pagi, sebelum berangkat, awan terlihat mendung. Daripada terjadi yang tidak diinginkan, makanya saya letakkan kembali buku di meja. Nyatanya, tidak hujan. Ternyata cuaca seperti halnya sapaan mantan: tidak bisa ditebak --apa itu kode mau diajak balikkan atau tidak-- artinya.
Begini kata laki-laki yang menegur saya: "masih baca cerpen Kompas?"
Sontak saya kaget. Bagaimana mungkin ia bisa bertanya begitu. Itu, seakan-akan menanyakan sesuatu yang memang ia tahu dan dilakukan orang lain secara berulang. Saya tidak kenal orang itu. Bertemu pun baru. Atau saya lupa? Bisa saja. Tapi mana mungkin saya bisa menghapal penumpang kereta. Kalau perempuan, masih dimungkinkan. Kadang jika hari ini bertemu, maka besoknya saya akan ada di waktu dan tempat yang sama. Tentu berharap pertemuan kedua. Namun, lebih sering gagal. Pun jarang saya lakukan hal semacam itu. Jika dibuat prosentase, paling 0,98% saja. Penasaran saya hanya sebesar 0,02 porsen.
Tapi tentu saya sama sekali tidak peduli. Barangkali pertanyaan itu sekadar basa-basi. Saya hanya membalasnya dengan senyum dan sedikit mengangguk. Kemudian laki-laki itu mengeluarkan gadget, membuka aplikasi ini-itu.
Hari ini saya baru sempat membaca harian KOMPAS Minggu. Beberapa artikel sudah saya tandai. Cerpen Kompas, Udar Rasa dan tentu kolom khusus Euro 2016.
Sebenarnya kemarin saya sudah niat membacanya, tapi semalam saya kehujanan. Korannya hancur di dalam tas. Saya buang.
Sesampainya pagi tadi di kantor, saya langsung ke rak tumpukan koran bekas. Mengambil KOMPAS Minggu dan melunasi rasa penasaran saya kemarin.
Cerpen Kompas minggu lalu cukup lumayan. Ceritanya ya, begitu. Setidaknya saya jadi tahu satu hal: ternyata membajak sawah dari tahun ke tahun masih sama.
Sedangkan kolom Udar Rasa membuat saya terhibur. Seno Gumira Ajidarma yang mengisinya. Sangat khas gayanya. Sukab berhasil membuat saya senyum-senyum sendiri.
Kemudian kolom khusus Euro 2016 yang ditulis Sindhunata. Ah, ini kali pertama saya membaca tulisannya. Jujur, saya deg-degan sekali. Jika diibaratkan, pertemuan saya dengan tulisan Sindhunata ini semacam ta'aruf. Saya tahu, tapi sama sekali belum pernah bertemu.