Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bertemu Toilet Penuh Corat-coret

10 Juli 2016   23:27 Diperbarui: 11 Juli 2016   11:14 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya percaya satu hal: buku akan mememui pembacanya sendiri, seperti hewan peliharaan kepada (calon) majikannya. Entah dengan cara atau bentuknya, buku ditakdirkan ada di tangan pembaca-pembacanya sendiri.

Seperti saya dengan buku kumpulan cerpen "Corat-coret di Toilet" karya Eka Kurniawan.

Itu buku pertama Eka Kurniawan, sebelum akhirnya dicetak ulang Gramedia. Sekarang sudah cetak ulang dengan sampul berbeda. Saya punya yang sampul pertama Gramedia tahun 2014. Saya kenal ini dulu baru novel pertamanya yang sebesar bantal itu "Cantik Itu Luka".

Sebenarnya saya hanya ingin sekadar membeli novel Zen RS di sebuah kedai boekoe online, tapi berhubung saya rasa tanggung dengan ongkos kirim, saya juga beli kumcer Eka Kurniawan ini. Dari dua buku itu, ternyata saya lebih dulu membaca "Corat-coret di Toilet". Selain lebih tipis, saat itu nama Eka Kurniawan sedang kembali hangat-hangatnya diperbincangkan.

Dulu, setahu saya, Eka Kurniawan mencetak kumcer ini beberapa eksemplar saja. Itu pun dilakukannya sendiri bersama Yayasan Aksara Indonesia, 2000. Harganya 10ribu. Semoga itu benar. Saya lupa pernah membacanya di mana.

Perihal toilet, saya punya pengalaman sendiri. Semasa kuliah, saya pernah membuat film pendek. Sayang itu sebatas angan. Film itu tadinya saya ingin membuatnya karena ruang tunggu mahasiswa dekat dengan toilet. Saya jarang dapat tempat dan lebih sering kedapatan di toilet. Toiletnya bersih. Kadang saya sendiri yang membersihkannya. Kelak akan saya ceritakan itu di lain pembahasan. Intinya, film pendek yang ingin saya buat menceritakan dua orang mahasiswa yang memikirkan Indonesia di dua toilet sambil buang air besar.

Duh, jadi terlalu melebar. Namun membaca "Corat-coret di Toilet" telah membawa saya kembali ke ingatan itu.

Dalam buku ini total ada 12 cerita pendek. 10 di antaranya sudah terbit terdahulu seperti yang saya ceritakan di awal. Tapi saya hanya suka beberapa. Teman Kencan; Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam; dan tentu, Corat-coret di Toilet.

Namun yang membuat buku ini berkesan, sekaligus berharga, ialah karena banyak berlatar pada masa-masa pasca Orde Baru. Masa di mana semua penuh kebingungan terhadap runtuhnya rezim yang lama berkuasa dan kita gigih menumbangkannya.

Teman Kencan, adalah cerita perihal kehidupan aktivis mahasiswa yang ingin merasakan malam minggu. Itu terjadi setelah banyak yang ia korbankan --kuliah, keluarga dan tentu kekasihnya yang memilih minggat-- demi masa yang lama menjadi mimpi kebanyakan rakyat Indonesia: reformasi demokrasi.

Perjuangan laki-laki inilah yang digambarkan ulang Eka Kurniawan, terhadap apa yang mesti dilakukan mengisi masa-masa awal reformasi. Perjuangan belum usai, bahkan malam minggu sekalipun.

Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam. Untuk cerita ini, saya menyukainya karena sampai sekarang saya masih banyak temukan orangtua yang melarang anak perempuannya keluar malam. Itu baik. Tidak ada yang salah. Namun yang mengganggu saya: apa yang dipikirkan orangtua melakukan itu. Saya rasa, di sini Eka Kurniawan berhasil memberi jawabannya.

Sebuah usaha seorang perempuan yang mencoba menuntut haknya saat usianya yang ketujuh belas sebagai hadiah terindah: diizinkan keluar malam. Tentu diizinkan, tapi mesti pergi dengan orangtuanya. Sayang, yang tadinya ia anggap menjadi hadiah terindah, malah menjadi mimpi buruk.

Dab terakhir, Corat-coret di Toilet. Seperti yang saya ceritakan di awal: ini tentang kehidupan di toilet. Segalanya hidup seiring dengan semakin banyaknya coretan di toilet. Barangkali dari cerpen inilah Eka Kurniawan menemukan bentuk novelnya "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas". Sebab bentuknya adalah potongan-potongan cerita pendek yang dijadikan satu. Layaknya puzzle.

Coretan pertama di toilet itu, dalam cerita, dilakukan oleh seorang lelaki berumur sekitar dua puluh tahunan. Ketika ia buang air besar, dengan toilet yang baru dicat ulang, meronggoh dalam tasnya mengambil spidol dan menuliskannya di dinding toilet: Reformasi gagal total, Kawan!  Mari tuntaskan revolusi demokratik!

Setelah itu, hari demi hari, setiap orang yang menggunakan toilet akan menuliskan apa saja. Lebih tepatnya, saling menjawab pada tulisan sebelumnya. Apa saja: gagasan, ajakan mesum dan hal-hal tolol lainnya. Toilet yang baru dicat ulang menjadi penuh kembali coretan, menjadi toilet yang kumuh.

Saya kembali ingat sesuatu tentang akhir cerita pendek Corat-coret di Toilet.

Satu waktu, saya mendengar sebuah perbincangan hangat tentang anggota dewan mana yang berkompeten untuk mengisi di sebuah talkshow. Menjadi pembicara utama. Tak ada yang menjawab di antara mereka. Entah tidak tahu atau apa. Selang berapa lama, atasan mereka menyodorkan satu nama. Tentu bawahannya menurut. Tapi saya, yang hanya mendengar itu, jadi tertawa sendiri.

Seperti pada akhir cerita Corat-coret di Toilet. Seseorang yang alim, yang merasa jengah dengan laku orang-orang yang mengotori toilet dengan coretan akhirnya ikut juga di sana. Ia menulis sesuatu di dinding toilet: Kawan-kawan, tolong jangan corat-coret di toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan tempat menampung unek-unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak-bapak anggota Dewan.

Setelah tulisan itu selesai, malah semakin banyak yang menulis komentar. Tapi tulisan pertama yang merespon itu seperti ini: Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya dinding toilet.

Tulisan kedua setelah itu, "aku juga,". Dan seratus tulisan tersisa, juga hanya menulis, "aku juga,". Seperti saya yang mendengar obrolan mereka tentang orang dewan yang kompeten. Saya pun barangkali lebih percaya pada coretan di toilet, daripada anggota dewan.

Perpustakaan Teras Baca, 10 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun