SETIAP Lebaran saya selalu belajar dua hal: bersabar dan bersyukur. Meski tetap kerja pada hari itu juga. Meski lagi-lagi naik kereta. Tak apa, keduanya menyenangkan bagi saya.
Tidak usah coba tanyakan betapa saya bisa bersabar ketika lebaran masih naik kereta. Lebaran adalah dada yang lapang, yang siap memberi maaf. Pada apa dan siapa saja.
Namun, saya bersyukur pada waktu yang bersamaan. Di kereta, pada saat lebaran, saya masih bisa membaca buku. Meski dengan ruang yang sempit dan sebelah halaman buku saya apit.
Kemarin buku yang saya bawa itu kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya akam ditulis dengan "SGA" supaya lebih mudah) yang dicetak ulang oleh Gramedia: Sepotong Senja untuk Pacarku. Selama perjalanan saya hanya dapat membaca bab Trilogi Alina. Menyenangkan rasanya. Saya bersedih dan tertawa sendirian di sana.
Pada bab Trilogi Alina dibagi tiga cerpen. Sepotong Senja untuk Pacarku; Jawaban Alina; dan Tukang Pos dalam Amplop. Bab ini merupakan bab di mana rindu dan cinta bertemu. Sukab yang bersikeras ingin mengirimi surat yang berisi senja kepada Alina, kekasihnya. Alina yang menolak ketulusan dan kegigihan cinta Sukab. Sampai si Pengantar Surat yang mau-tidak-mau terlibat di sana, sebab surat yang Sukab kirim kepada Alina diantar olehnya.
Pada cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku, barangkali yang paling dikenal dan dikenang. Sebab lewat cerpen itu, pada masanya, sekitar tahun 90an awal mungkin, dijadikan surat cinta oleh orang-orang untuk menunjukan kecintaannya pada kekasihnya. Tokoh yang bernama Alina diganti dengan nama kekasihnya. Setidaknya begitu yang SGA tulis pada pengantar buku ini. Saya rasa betul. Coba saja tanyakan kakak atau orangtua kalian yang sedang dimabuk asmara pada tahun-tahun 90an awal.
Barangkali semua laki-laki, jika memang bisa, akan bertindak seperti apa yang dilakukan Sukab kepada Alina. Bayangkan, memotong senja dan menghadiahkan itu pada kekasihnya. Tidak hanya senja, tapi juga burung-burung, pasir basah, siluet batu karang dan perahu yang lewat di kejauhan.
Lalu lanjut ke cerpen kedua, Jawaban Alina. Ah, sungguh, ketika membaca bagian itu, rasa-rasanya seperti Dian Sastro yang membacakan untuk saya. Ya, ketika peluncuran buku Sepotong Senja untuk Pacarku diadakan pembacaan cerpen Trilogi Alina dan Dian Sastro kedapatan membaca itu. Sial sekali, saya tidak hadir. Lebih sial lagi, ternyata keren sekali Dian Sastro membacakannya. Saya lihat itu di YouTube. Cari saja. Ada.
Jawaban Alina, adalah cerita ketika Alina mendapat surat pertama dari Sukab. Alina menjabarkan semua yang tentang hal-hal yang terjadi saat surat itu sebelum dan sesudah sampai. Dari perjalanan Tukang Pos mengantar surat hingga sepuluh tahun lamanya, bencana yang terjadi ketika surat itu dibuka --yang tentu berisi senja dan segala isinya-- tumpah ruah, sampai Alina yang ternyata tidak mencintai Sukab dan menikah dengan lelaki lain.
Sungguh lucu membaca bagian ini. Ternyata seperti ini sebaiknya menolak lelaki, bukan malah digantuntkan. Dan pada bagian ini, kembali saya berkhayal: Dian Sastro membacakannya di sebuah panggung pementasan dan hanya ada saya di sana. Hanya saya. Membacakan itu khusus saya. Sungguh setelah itu matipun saya rela.
Dan terakhir, Tukang Pos dalam Amplop. Pada bagian ini saya lebih sering merenung. SGA menawarkan dunia baru di sana: dunia dalam amplop yang berisi senja dan segala isinya. Tukang Pos hidup di dalam laut dan menjadi manusia ikan. Ada juxtaposition di sana. Di mana ia yang menjadi manusia di dunia nyata dan menjadi manusia ikan di dunia dalam amplop. SGA mengkritik habis perilaku manusia dengan alamnya.
Sudahlah. SGA memang idola. Hanya saja saya belum mengirimkan "bonus" sebuah surat dari buku Sepotong Senja untuk Pacarku. Bukan tidak ada yang dituju, namun saya takut mendapat surat balasannya, seperti apa yang dilakukan Alina pada Sukab.
Perpustakaan Teras Baca, 8 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H