Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Lapar karena Buku Ini

4 Juli 2016   23:09 Diperbarui: 5 Juli 2016   15:31 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Kumpulan Cerpen "Rumah Kopi Singa Tertawa" Yusi Avianto Pareanom

"Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekedar makan dan tidur sebelum disembelih." -- Yusi Avianto Pareanom, Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari.

Selama bulan puasa ini, atau tahun-tahun sebelumnya, ada dua hal di mana saya sama sekali tidak nafsu makan. Pertama, setelah berbuka. Kedua, satu-dua hari sebelum lebaran.

Untuk yang pertama, bisa saya jelaskan dan pastikan, alasannya bukan karena siang hari saya sudah makan. Bukan. Tapi, mungkin, karena seharian tidak makan, saya jadi terbiasa untuk itu. Melihat nasi, tenggorokan ini rasanya ada yang mengganjal di tenggorokan dan tidak bisa ditelan.

Sedangkan alasan kedua, saya memang tidak suka bebauan bumbu masakan. Di rumah, menjelang lebaran, sudah tidak beda lagi antara kamar, ruang tamu dan teras dengan dapur. Aromanya, ah seperti sedang di toko parfum. Jika di rumah saya lebih ingin buang air besar daripada nafsu makan. Gomah tahu itu, maka ia membiarkan saya untuk tidak di rumah. Saya tidak ingin menyakiti hati perempuan yang dengan baik membuatkan saya makan super lezat.

Tapi percayalah, saya toh tetap makan. Hanya saja di waktu-waktu yang tidak menentu. Kadang tengah malam, kadang saya rapel sekalian dengan sahur.

Namun tahun ini ada yang berbeda. Sekitar dua bulan lalu saya membeli buku kumpulan cerpen dari Yusi Avianto Pareanom, judulnya "Rumah Kopi Singa Tertawa".

Ini kali pertama perkenalan saya dengannya. Setelah tahun lalu para penggila buku membicarakan buku novel terbarunya "Raden Mandisa, Si Pencuri Daging Sapi". Untuk ini, saya belum punya. Rezeki dan jodoh belum mempertemukan kami.

Total ada 18 cerpennya di buku ini. Tidak, saya tidak ingin membahas secara rinci. Saya ini hanya debu di padang gurun buku kumcer ini. Tapi saya sudah jatuh cinta pada penulisnya. Ah, heibat betul tulisannya. Detil betul Mas Yusi menceritakan tiap adegan, tiap cerita, tiap elemen-elemen yang kalian tahu tentang menulis.

Saya termasuk yang beruntung masih bisa mendapatkannya. Hanya tersisa tiga waktu itu dan kedaiboekoe dengan baik hati menyisakan satu buat saya.

Biar terlihat ada kaitannya dengan nafsu makan saya selama puasa, baiklah, akan saya beritahu.

Aneh. Baru dari buku ini saya bisa mendadak lapar. Lapar yang sebenar-benarnya. Mula-mual air liur berkumpul di mulut, namun lama-lama alarm di perut saya bunyi. Sungguh. Ini terjadi ketika saya membacanya di kereta malah.

Saat itu saya membaca cerpen "Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari". Itu cerita tentang Sungu Lembu, Raden Mandisa dan Loki Tua yang ingin menempuh padang gurun sambil membawa dua ekor anjing pemalas. Selama perjalanan mereka menggendongnya. Di perjalanan itu, seekor anjing kabur. Hanya menyisakan satu, Si Manis. Anjing satunya melarikan diri saat mereka tengah istirahat.

Pada hari keempat, barulah mereka mendapat tempat singgah untuk bermalam. Sebuah gubuk yang hanya dihuni sepasang kakek nenek. Loki tua sebelumnya sudah mengingatkan kepada kakek nenek itu supaya besok pagi dibuatkan sarapan bubur.

Kakek nenek pemilik gubuk menyodorkan mangkuk-mangkuk tanah ke hadapan kami. Bubur. Oh, ternyata ada irisan-irisan dagingnya. Bubur terasa lembut dan hangat di perut. Irisan dagingnya enak sekali. Gurih pedas. Mereka pintar mengolah daging kambing, pikirku. Mereka juga makan. Kami berlima makan dengan lahap dan gembira.

Baru ketiga lelaki itu pamit, Loki Tua sadar kalau anjingnya tidak ada. Loki Tua marah, bahkan ingin membunuh kakek nenek itu. Raden Mandisa mencegah, "jangan, kasihan mereka. Lagi pula Si Manis rasanya enak."

Ada juga cerpen lainnya. "Telur Rebus dan Kulit Kasim". Masih tentang ketiga lelaki itu; Sungu Lembu, Raden Mandisa dan Loki Tua. Kali ini pertemuan dengan Kasim U, seorang lelaki tua yang sudah tidak punya apa-apa, selain mati. Namun bukan itu. Yang membuat alarm di perut saya berbunyi adalah pembuka cerita itu. Seperti ini:

Kami bertiga sedang enak-enaknya makan kari kepala kambing muda. ... Kari berteman nasi maryam ini terlalu lezat untuk tidak dinikmati dengan khidmat. Paduan bunyinya sangat pas; manis, gurih dan pedas yang menghangatkan tubuh. Potongan kuping, lidah dan matanya kenyal, enak digigit-gigit, sementara daging pipinya sedemikian lembut sehingga lumer di mulut.

Masih ada beberapa cerita lagi. Tapi, rasa-rasanya cukup ini saja. Kalian bisa membelinya sendiri jika ingin merasakan hal serupa, seperti apa yang saya dapatkan. Sungguh, cerita-cerita ini membuat kalian tahu: bahwa kuliner bisa dinikmati dari sebuah karya sastra.

Oia, katanya juga, kalau ingatan saya tidak berkhianat, pernah diadakan event fiksi kuliner yang dibukukan. Wah, saya tidak sabar membacanya.

Commuterline Tanah Abang - Bogor, 4 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun