"Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekedar makan dan tidur sebelum disembelih." -- Yusi Avianto Pareanom, Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari.
Selama bulan puasa ini, atau tahun-tahun sebelumnya, ada dua hal di mana saya sama sekali tidak nafsu makan. Pertama, setelah berbuka. Kedua, satu-dua hari sebelum lebaran.
Untuk yang pertama, bisa saya jelaskan dan pastikan, alasannya bukan karena siang hari saya sudah makan. Bukan. Tapi, mungkin, karena seharian tidak makan, saya jadi terbiasa untuk itu. Melihat nasi, tenggorokan ini rasanya ada yang mengganjal di tenggorokan dan tidak bisa ditelan.
Sedangkan alasan kedua, saya memang tidak suka bebauan bumbu masakan. Di rumah, menjelang lebaran, sudah tidak beda lagi antara kamar, ruang tamu dan teras dengan dapur. Aromanya, ah seperti sedang di toko parfum. Jika di rumah saya lebih ingin buang air besar daripada nafsu makan. Gomah tahu itu, maka ia membiarkan saya untuk tidak di rumah. Saya tidak ingin menyakiti hati perempuan yang dengan baik membuatkan saya makan super lezat.
Tapi percayalah, saya toh tetap makan. Hanya saja di waktu-waktu yang tidak menentu. Kadang tengah malam, kadang saya rapel sekalian dengan sahur.
Namun tahun ini ada yang berbeda. Sekitar dua bulan lalu saya membeli buku kumpulan cerpen dari Yusi Avianto Pareanom, judulnya "Rumah Kopi Singa Tertawa".
Ini kali pertama perkenalan saya dengannya. Setelah tahun lalu para penggila buku membicarakan buku novel terbarunya "Raden Mandisa, Si Pencuri Daging Sapi". Untuk ini, saya belum punya. Rezeki dan jodoh belum mempertemukan kami.
Total ada 18 cerpennya di buku ini. Tidak, saya tidak ingin membahas secara rinci. Saya ini hanya debu di padang gurun buku kumcer ini. Tapi saya sudah jatuh cinta pada penulisnya. Ah, heibat betul tulisannya. Detil betul Mas Yusi menceritakan tiap adegan, tiap cerita, tiap elemen-elemen yang kalian tahu tentang menulis.
Saya termasuk yang beruntung masih bisa mendapatkannya. Hanya tersisa tiga waktu itu dan kedaiboekoe dengan baik hati menyisakan satu buat saya.
Biar terlihat ada kaitannya dengan nafsu makan saya selama puasa, baiklah, akan saya beritahu.
Aneh. Baru dari buku ini saya bisa mendadak lapar. Lapar yang sebenar-benarnya. Mula-mual air liur berkumpul di mulut, namun lama-lama alarm di perut saya bunyi. Sungguh. Ini terjadi ketika saya membacanya di kereta malah.