Kota ini telah mati. Penduduknya sudah lama pergi. Kerusuhan membuat kota itu tempat paling sepi. Tak ada yang bisa diselamatkan selain kenangan, ingatan dan kata-kata yang dulu pernah lama hidup di kota ini.
Setiap malam kenangan gentayangan, layaknya hantu tapi tidak tahu siapa yang mesti ditakut-takuti. Ingatan mendatangi rumah-rumah kekasihnya yang penah menyelingkuhi. Hanya kata-kata yang hidup, bermekaran seperti bunga, di tempat-tempat pemerkosaan yang dulu pernah terjadi. Sampai akhirnya penyair yang patut dikasihani ini datang dan memetik kata-kata satu persatu dengan hati-hati. Secara perlahan kota ini dibangun ulang dengan kata-kata menjadi puisi. Kota Puisi, begitu penyair ini menamai.
Puisi pertama yang penyair ini tulis adalah puisi tentang kekasihnya. Kekasih khayalannya tentu saja, lalu menikahinya, berkembang biak layaknya binatang, setelah itu Kota Puisi ini akan ramai seperti kota-kota pada umumnya. Puisi tentang kekasihnya itu dibuka dengan larik yang sedikit nakal: Ia akan menggodamu dengan cerita yang tidak ada ujungnya.
Senang sekali penyair itu pada puisi pertamanya, kekasih khayalannya. Malam pertama sepasang pengantin ini dihabiskan oleh cerita-cerita penuh birahi. Namun baru beberapa menit, penyair ini sudah ejakulasi. Diterangi sinar bulan dan bau hangus gedung-gedung yang terbakar, penyair ini tersenyum puas sekali.
“Besok ceritakan yang lebih vulgar,” bisik penyair pada kekasih khayalannya.
Sinar mataharipagi menyentuh tubuh penyair ini seperti jari-jari bayi yang berusaha membuka kancing baju ibunya. Suara kekasih khayalannya membangunkan penyair ini. Kekasih kahayalannya mual-mual. Ia telah hamil. Lalu penyair ini menulis puisi lagi: aku lahir dari ucapan-ucapan ibu yang lebih banyak ia kecupkan dengan diam.
Sepasang bayi kembar keluar dari rahim kekasih khayalannya: laki-laki dan perempuan. Tangis pertama bayi kembar itu membuat penyair ini menangis bahagia. Dipeluk erat kekasih khayalannya yang telah mati, sesaat pasca melahirkan.
Penyair ini makin tidak henti-hentinya menulis puisi. Seratus puisi dalam sehari. Kesedihan, kata penyair ini, juga pantas untuk dirayakan.
Dari puisi-puisi yang ditulisnya, tak terasa kota telah menjadi ramai. Hidup kembali. Ada ribuan orang muncul juga dengan kesibukkannya, ratusan rumah-rumah layak huni, puluhan gedung-gedung bertingkat dan sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang lengkap.
“Sebuah kota butuh perpustakaan,” ujar penyair ini. ”Sebab hanya di sana tempat terbaik untuk menyendiri. Beristirahat sejenak dari pekerjaan yang membuat kepala penat.”
Ya, perpustakaan adalah rumah penyair ini. Rumah puisi yang dibuatnya untuk ditinggali bersama kedua anak kembarnya. Tempat penyair ini menulis puisi dan hidup sebagai keluarga paling bahagia di Kota Puisi.