Jakarta adalah puisi, begitu juga sebaliknya. Bagi saya, Jakarta tidaklah sekadar kota. Jakarta lebih dari itu, bahkan masih jauh lebih besar, buat menjadi Ibu untuk suatu negara. Jakarta, barangkali, adalah puisi yang tak pernah cukup dibaca barang sekali. Butuh puluhan atau sesering mungkin membacanya agar bisa memahami.
Bila puisi adalah cinta yang dibunyikan, maka Jakarta adalah telinga yang mendengarkan. Bila puisi tak terikat oleh waktu, maka Jakarta yang meringkusnya dengan ringkas. Bila puisi melulu mempertanyakan jarak, maka Jakarta yang mempersingkat. Seperti api yang kehabisan nyala, lalu asapnya menjumpai entah dari mana.
Jakarta bisa menjelma apa saja. Kesepian. Keramaian. Kesedihan. Kebahagiaan. Kerinduan. Kegalauan, kalau perlu. Atau apa pun yang dimau. Jakarta tak terkotakkan dan terkatakan ini-itu.
Oleh karenanya, Jakarta membuat zaman bergerak cepat, layaknya sajak-sajak yang berlompatan. Sungguh sesungguh-sungguhnya. Zaman bahkan bisa berubah hanya dari genggaman. Pagi bisa langsung bertemu malam, tanpa siang yang mudah saja dihiraukan.
Namun yang patut diingat: bukankah puisi yang baik dibuat oleh perihnya luka yang sakit? Bahkan, ada juga yang pernah mengatakan, kalau perlu sampai menangis, menangislah, jika tidak bisa menangis berpura-puralah.
Jika begitu cara puisi dibuat, adakah puisi itu diperlukan? Pertanyaan seperti itu tak mungkin terhindarkan, pun untuk mempertanyakan Jakarta jua. Lihatlah ketika keriuhan yang beragam muncul dengan spontan, tak terduga. Kejutan semacam itu menegaskan pada titik di mana puisi (merangkup Jakarta) atas urgensi dan manfaatnya.
Tak pernah ada cinta yang rapi.Â
 Rindu membuatnya berantakan lagi.*
Jakarta, biar bagaimana pun juga, adalah pergulatan batin. Kita mampu merasa kesepian di antara keramaian, merasa sendiri sampai bayangan pun enggan menemani.
Masih butuhkah kita pada puisi? Barangkali, iya, setidaknya walau hanya sebatas kutipan. Barangkali juga, untuk menjawab sesuatu yang lebih filosofis maupun subtansi: jawaban untuk pertanyaan yang dituju pada dirinya sendiri.
Jika cinta hanya soal segala hal benar,Â
 maka mustahil kita bisa sebegini tegar.*
Begitulah, sebab Jakarta bisa saja hanya sehimpun salah-salah yang telah ditimbun bertahun-tahun. Tapi mencintai Jakarta bukan berarti mencintai sesuatu yang salah. Justru lewat puisi, barangkali kita membiaskan yang benar dan yang salah.
Lalu, saya membayangkan: sekumpulan orang-orang berkumpul dan Jakarta menjadi tempatnya, sepertinya hanya sepi yang ada. Kesepian tak butuh teman, kesepian butuh perhatian. Maka tak usah aneh bila banyak sekali yang meminta perhatian di Jakarta.
Segala macam dilakukan. Tapi saya tak tahu bila ada yang sampai menghalalkan. Yang jelas, saat orang-orang itu dengan sepi masing-masing, akan dengan mudah kalian lihat atau dengar letupan sekecil apapun.
Haruskah dengan bertengkar,Â
 kekuatan cinta kita ditakar?*
Ada yang mengajarkan, perhatian itu dibentuk, dibangun bukan diminta. Sementara, masih dalam bayangan saya, mereka yang mengais iba perhatian itu tidaklah mendapat apa-apa. Memang apa yang bisa didapat dari sepi? Kosong!
Di dalam sepi, yang saya tahu, hanya ada rindu yang bergentayangan. Sedang cinta, yang menunggunya di kala malam.
Air mata tidaklah jatuh untuk hal yang sia-sia, begitu ungkap penyair lewat puisinya. Untuk itulah kita tahu, puisi masih dibutuhkan untuk ditulisi, dan Jakarta, bagi saya, masih pantas untuk ditinggali --biar sebatas berisi sepi.
Perpustakaan Teras Baca, 15 Januari 2016
*) Dari puisi-puisi Candra Malik dalam Fatwa RinduÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H