Itu pun kembali memakan waktu. Maksudnya, apa hanya cukup mencantumkan nama penulisnya maka selesai perkara? Kembali saya mendebatkan itu pada Alvi. Lama. Lama sekali waktu terbuang percuma. Saya coba tanya sana-sini bagaimana hukumnya.
Pertama saya coba hubungi kritikus sastra yang sedang kekinian, Arman Dhani. Lagi-lagi saya takut kalau eBook itu jatuh ketangannya, akan bernasib seperti karya-karya orang lain yang pernah ia kritisi. Dan yang pernah booming adalah ketika ia mengkritisi lewat tulisan disebuah portal daring, Lima Buku Tak Layak Terbit 2012.
Sontak heboh, karena kelima buku ditulis oleh penulis-penulis terkenal. Salah satunya Goenawan Mohammad pada bukunya “Catatan Pinggir 9”. Kata Armad Dhani waktu itu pada saya adalah, tidak semua penulis mau karyanya diadaptasi begitu saja, meski sudah diberi nama penulisnya. Kalau memang bisa, lebih baik izin terlebih dulu.
Izin. Itu benar adanya, sekaligus menyusahkan tentu saja2.
Meresa kurang puas, saya tanya kembali hal yang sama pada Kang Pepih. Jawabannya lebih kurang sama. Bagaimana mungkin saya meminta izin pada penyair-penyair yang ingin saya buatkan cerpen yang kemudian saya buatkan eBook ini? Selain lama, saya sendiri pesimis akan mendapat izinnya.
Tuhan punya caranya sendiri untuk memberi petunjuk. Hari itu, entah ada acara apa, di perpustakaan Teras Baca tiba-tiba menjadi berantakan. Banyak sampah plastik, puntung-puntung rokok berserakan di lantai dan yang membuat saya jengkel adalah buku-buku di sana rapih!
Sebenarnya apa yang mereka lakukan di perpus tapi, buku-buku tak disentuh sama sekali? Kepalang kesal, saya berantakan saja sekalian. Buku-buku saya turunkan dari rak, buku yang belum sempat saya data ulang dan masih tersimpan di dalam kardus, saya tuang begitu saja. Malam itu perpus berantakan. Tiba-tiba ayah saya menyusul, dan melihat semua berantakan, saya yang kena omelan.
Akhir pekan saya diisi membereskan perpustakaan. Sendirian. Dan di situlah saya kembali bertemu Daeng Khrisna setelah setahun ini tak jumpa --lewat buku puisinya. Ya, dari puisi-puisi dalam bukunya saja. Sehimpun Sajak Rindu, Pohon Duka Tumbuh di Matamu.
Saya coba kembali menghubungi Daeng untuk meminta izin, tapi tidak bisa. Saya tanya manager-nya, Ameng, ia sedang tidak di Bogor katanya. Lama. Hingga saya tahu kalau katanya Daeng sedang kambuh sakitnya. Ada peradangan pada kepalanya, semacam vertigo, saya sendiri tidak tahu tepatnya. Saya hanya bisa mendoakan kesembuhan untuk Daeng Khrisna.
Jika saat itu Sangkuriang dibantu oleh makhluk-makhluk yang entah apa nama dan bentuknya demi mendapat cinta Dayang Sumbi, sedangkan saya langsung mendapat bantuan dari yang sesama gaib, Tuhan. Lagi-lagi Tuhan campur tangan. Suatu siang yang terik, secara ajaib Daeng menghubungi saya lewat pesan singkat. Ternyata sebelumnya ia terlebih dulu membuat komunikasi pada Ameng. Siang itu Daeng mengizinkan saya memakai puisi-puisnya.
Pada hari itu juga saya konsep eBook supaya cepat selesai. Tujuan awal dari saya dan teman-teman di Perpustakaan Teras Baca adalah mengajak mereka yang semula tidak begitu niat dalam dunia tulis-menulis untuk mengisinya. Dan perpustakaan Teras Baca menjadi wadahnya buat mereka. Menghargai usaha mereka yang semula tidak ada niatan sama sekali dengan serius. Membukukannya.