Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Jomblo yang Tidur di Malam Minggu

25 April 2015   08:57 Diperbarui: 23 Juli 2016   15:22 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hanya membayangkan ada seorang nun jauh di sana mencintai saya diam-diam. Dan kau tahu, satu-satunya yang membuat saya terkejut adalah pada satu waktu saya mengetahuinya. Itu rasa-rasa seperti dipeluk malaikat jodoh dari belakang dan sayapnya menutupi tubuh saya dan saya terbang karena kegirangan.

Ini hari sabtu. Sebagai jomblo, saya sudah merencanakan sesuatu: tidur. Sungguh, malam minggu itu jauh lebih menakutan ketimbang omelan tetangga sebelah yang tak sengaja pot bunga bonsainya kita jatuhkan dengan bola. Tidur adalah sebaik-baiknya tindakan, dan selimutan adalah sebijak-bijaknya perbuatan.

Menjelang tengah siang, ada tukang ketoprak lewat dan entah yang terlihat malah tukang es kelapa. Mungkin siang ini terlalu terik dan dahaga pun jadi tak terhingga rasanya. Botol-botol hijau yang terpampang di gerobak serasa berubah jadi botol sirup marjan yang dengan kentalnya dicampurkan dengan air kelapa dan gula cairnya itu.

“Es kelapa, Mang?” saya sendiri bingung, kenapa itu malah keluar dari mulut saya, padahal jelas-jelas itu tukang ketoprak.

“Lain, Mang, ketoprak,”

“Aya es kelapa, teu?” Lho!?

“Atuh eweuh, Mang, ketoprak weh…”

“Duh, lain teu doyan, Mang. Ayeuna teh aus, nu ngajual es kelapa di mana, Mang?”

“Eta di hareupan Masjid. Sebelahan jeung warung basona Mang Uji,”

“Oh…, masih di ditu keneh?”

“Ho’oh,”

“Kapan-kapan jual es kelapa, Mang,”

“Embung!!!”

Tukang ketoptrak pun kembali jalan. Tapi dengan tergesa. Mungkin marah pada saya. Ya, gak usah galak-galak juga, kayak calon mertua, kata saya dalam hati.

Malam minggu begitu rawan buat jomblo. Jam-jam menuju malam seperti ranjau yang kalau tidak hati-hati bisa meledak di tempat. Di layar televisi sudah banyak liputan tentang tujuan-tujuan rekreasi yang mungkin akan lebih indah bila perginya bersama pasangan. Tempat makan, pantai-pantai yang menjanjian pemandangan, dan banyak lagi….

Tapi jadi jomblo bukanlah perkara mudah. Butuh keberanian. Setidaknya ada satu garis di bawah para penjihad. Tak ada yang lebih indah kalau mati dalam keadaan jomblo. Dan di batu nisan nanti, tepat di bawah tanggal kematian, bisa ditulis “Orang Ini Mati Ketika Mencintaimu Dalam Angan”

“Hallo, Yang,”

“Iya,”

“Yangkurniadi, malam ini datang ke perayaan ulang tahunku, yuk?”

“Duh, gimana, ya?”

“Bukan pesta, sih, gak ada lagu-lagu Top 40 yang diputar di radio kenamaan dengan volume keras, minuman semacam cocktail atau yang lain yang sedikit memabukan. Cuma syukuran. Makan-makan, setelah itu doa bersama. Sebentar lagi aku mau menikah, katanya doa orang yang menderita (baca: jomblo) lebih mudah diijabah , Yang"

“Maaf, Karlina, bukan ingin menolak. Bukan juga sudah ada acara. Tapi, gimana ya, Kar. Maaf dan selamat ulang tahun,”

“Tengs, Yang,”

Saya tutup telepon dan menyiap apa-apa saja untuk nanti malam. Tidur tidak boleh asal-asalan, ini tidur di malam minggu. Saya mesti rapih, bersih, dan wangi. Tidak boleh kalah ketika ingin pergi atau ibadah bertemu Tuhan. Baju saya siapkan yang paling bagus. Kalau ada, kemeja yang kerahnya masih kaku. Celana jeans dengan sedikit meruncing di bagian mata kaki. Tapi bajunya tidak perlu dimasukan, saya tidak punya ikat pinggang. Saya sering lihat itu di majalah-majalah lama, kalau kemeja baru kelihatan cocok bila dimasukan ke dalam celana mesti ada ikat pinggang yang terbuat dari kulit dan kepala mengkilat.

Sungguh indah sore di malam minggu. Senja seperti berwarna teh manis yang baru saya buat. Hangat. Jika ini senja terakhir yang bisa saya lihat, saya ingin mata ini bisa mengingatnya bahwa ini senja terindah. Di surga atau neraka nanti, kalau saya rindu dengan senja ini, saya bisa melepas mata saya dan melihatnya di sana. Ada burung-burung merpati hinggap di atap genteng rumah tetangga saya. Mereka berdiri berjajar teratur. Di antara pancar senja, merpati-merpati itu seperti puisi.

Sebentar lagi malam. Sebentar lagi Karlina menikah. Duh, tidak ada hubungannya memang, karena jomblo selalu gagal bila dihubung-hubungkan. Jomblo itu hidup dalam ketidak-hubungan.

Di depan cermin, terlihat seorang yang gagah. Kemeja baru dengan kerah yang kaku, celana jeansyang baru selesai di setrika. Lihatlah, lipatan di bagian luar celana itu sungguh lurus. Dengan sedikit minyak rambut supaya mudah disisir, nanti saya akan tidur di malam minggu dalam keadaan tenang. Kalau-kalau Malaikat Maut datang, silakan. Saya sudah rapih, sudah siap juga.

Pukul delapan malam. Hujan. Bukankah tidur ketika sedang hujan akan membuat tidur lebih nyenyak. Wuah, nampaknya Tuhan tahu apa yang hambanya mau. Saya matikan lampu kamar. Baru ingin merebahkan badan, dari luar jendela ada yang mengetuk. Tuan Malaikat Maut.

“Siap?” tanya Tuan Malaikat Maut.

“Tunggu, Tuan, tunggu acara di kediaman Karlina selesai. Saya hanya ingin tahu, apa benar dia jadi menikah?”

Perpustakaan Teras Baca, 25 April 2015 | Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun