Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana, Kompasiana TV dan Jurnalisme Sastrawi

7 Maret 2015   03:44 Diperbarui: 5 September 2015   19:22 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan tahun 1998, saya masih terlalu kecil untuk mengkonsumsi pemberitaan di televisi tentang pergolakan rakyat secara besar-besaran. Setiap hari, saat prime-time, yang semestinya saya bisa menikmati lagu-lagu Joshua atau Trio Kwek-kwek, di televisi lagi-lagi berita mahasiswa, buruh, dan seluruh rakyat Indonesia demo. Di Jakarta, berbondong-bondong mereka menduduki Gedung DPR. Di Bogor, aksi besar-besar yang berpusat di Tugu Kujang, sampai muncuat berita tewasnya satu aparat kepolisian yang diduga dibunuh oleh Mahasiswa Universitas Djuanda. Di Bandung, setiap kampus bersatu-padu long march ke Gedung Sate. Suara mereka ketika demo hanya satu: Soeharto turun! Dan sejarah mencatat itu, lalu menamainya: Reformasi.

Bukan cuma televisi, di media cetak pun demikian. Headline koran setiap hari memang berbeda, tapi intinya sama: rakyat Indonesia demo besar-besaran. Begitu juga dengan fotonya: pendemo membawa poster yang bertuliskan “Reformasi adalah harga mati”, dan bendera Merah-Putih yang dikibarkan. Bedanya, hanya orang yang memegangnya saja. Saya sendiri akhirnya sampai membaca koran (dulu saya hanya membaca Koran Tempo, karena Ayah saya hanya sanggup membeli itu sebagai buah tangan setiap pulang kerja) dari halaman belakang. Membacanya dari rubrik olahraga ke depan. Biarlah, mungkin itu yang sudah Tuhan gurat di kitab kehidupan.

Semestinya saya berterima-kasih pada Amien Rais yang telah mengamandemen Undang-Undang Dasar. Setidaknya itulah yang dihasilkan setelah reformasi. Namun, setelahnya ada yang diam-diam gembira, Media namanya. Media bisa sesuka hati memberitakan, alasannya sederahana, supaya semua lebih transparan; tidak ada yang disembunyikan. Media memberitakan korupsi, seakan itu menjadi konsumsi sehari-hari. Seakan kepuasan batin bisa memberitakan itu setelah 32 tahun tak bisa memberitakannya. Atau, kalau boleh meminjam kalimat Tan Malaka di Madilog: Indonesia seperti terlahir dari semula belum bertanggal berumur sendiri.

Tapi, saya jadi ingat ucapan yang entah dari siapa, saya lupa, “sebenarnya korupsi sudah ada dari dulu, tapi tidak media saja yang memberitakannya. Jadi korupsi bukanlah masalah utama, namun kita mesti sama-sama memberantasnya.” Kalau media hanya sebatas memberitakan, saya pikir cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai –bila dilihat dari kacamata media saja.

Saya sendiri jadi bingung bagaimana mengaikan ini dengan Kompasiana. Yang jelas ketika media hanya memberitakan yang itu-itu saja, Kompasiana bisa menjadi alternatif media (atau lebih dari itu bahkan). Ingat, kah: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kompasiana mengganti kata ‘rakyat’ menjadi warga. Sebab rakyat,... ,sedangkan warga,... .

Isinya pun bukan dikhususkan melulu soal politik dan korupsi yang menjadi-jadi, tapi Kompasiana, sejatinya berisi keluhan dan kebutuhan warga yang sebenar-benarnya. Sebab warga yang menulisnya, bukan wartawan yang menulis berita berdasarkan tuntunan redakturnya.

Satu-satunya yang berkembang itu manusia, tumbuh itu pepohonan. Kalau yang tumbuh-kembang itu namanya iklan susu.

Perlu ada penyalur yang lebih luas ketimbang situs saja. Televisi. Kompasiana TV. Sungguh, saya suka ketika Cindy mulai mengajak Kompasianer (sebutan untuk para penulis dan pembaca di Kompasiana) yang ikut serta menjadi partisipan, “jadi apa ada cerita atau pengalaman tentang … (biasanya tergantung tentang topik yang sedang dibicarakan).” Ia seakan menunjukan bergining position Kompasiana di antara media lainnya. Ya, Kompasiana memang bukan berisi melulu berita, tapi tempat berbagi cerita dan pengalaman yang dituliskan. Kadang akan ditemukan berupa esai-esai yang cukup asoy dibaca.

Di Kompasiana TV, Kompasianer bisa menceritakan langsung pengalaman yang munkin pernah dialami, kepada Narasumber yang kebanyakan adalah pejabat publik. Harapannya, setelah itu, pejabat publik bisa menafsirkan dan membuat kebijakan berdasarkan keresahan warga yang sesungguhnya. Karena mungkin, dulu, ketika blusukan pejabat publik salah tafsir, sehingga kebijakan yang keluar kadang tidak ada korelasianya dengan kebutuhan. Manusia memang suka menafsirkan segala.

Kompasiana, seperti mengingatkan pada Majalah Pantau. Majalah yang tugasnya memantau media-media yang ada di Indonesia. Tentang isu-isu apa saja yang sedang berkembang. Biasanya berupa liputan-liputan yang campur-aduk. Mereka menamai sendiri genre majalahnya: Jurnalisme Sastrawi. Pemahaman tentang Jurnalisme Sastrawi bisa dibaca di buku dengan judul yang serupa. Cobalah datang ke took buku bekas atau yang menjual buku-buku lama, sepertinya di toko buku kenamaan sudah tidak tersedia, sebagaimana saya mencari buku Pramoedya Ananta Toer – Jalan Deandels.

Jurnalisme Sastrawi bukan jurnalisme yang ditulis dengan gaya sastra seperti cerpen, prosa, puisi, dan lain-lain. Sastrawi yang dimaksud adalah narasi. Dan jurnalisme, adalah fakta. Tetap menyajikan fakta-fakta berupa berita namun dikemas secara menarasikannya, begitu mungin singkatnya. Di buku Jurnalisme Sastrawi ada dua liputan yang saya suka: tentang peristiwa Kraft di Aceh dan Isi perut Majalah Tempo.

Membaca liputan peristiwa Kraft di Aceh, seperti membaca puisi-puisi Sapardi: kenyang. Ditulis oleh seorang wartawan perempuan, dan ia menarasikan dengan sangat baik. Ada alur, penokohan, dan konflik tentu saja. Lalu liputan tentang isi perut Tempo hingga akar. Liputan itu mengisahkan tentang asal dan mula Tempo hingga manajemen yang kurang baik. Sehingga dulu, ketika sedang jaya-jayanya, Tempo banyak kehilangan wartawan-waratawan andalannya. Di sana bahkan penulisnya mengutip salah seorang wartawan yang tergolong keras, “buat apa menejemen bagus kalau tulisan jelek?”

Narasi-narasi itu dibangun semegah mungkin, membaca liputan Jurnalisme Sastrawi pun menyenangkan. Jurnalisme Sastrawi tidak butuh isu-isu yang megah dan maha dasyat. Hal paling kecil, seperti pengalaman bisa dituliskan. Dinarasikan. Seperti pengalaman misalnya. Barangkali Kompasiana akan seperti itu kelak. Barangkali.

Sebab, biar bagaimana pun juga, seorang bijak penah bilang, “Pengaalaman adalah guru terbaik.” Setidaknya bisa jadi guru buat diri sendiri.

Perpustakaan Teras Baca, 6-03-2015

ilustrasi: Iklan Kompasiana TV (Foto: Kompasiana.com)  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun