Gambar: Stand-up Indo Bogor Twitpic
Ada yang selalu memberikan perhatian lebih pada saya ketika lewat ke tempat-tempat di mana masih ada pertandingan sepakbola Tar-Kam (Antar Kampung) –khususnya pada saat 17 Agustus-an.
Euforia sepak bola Tar-Kam itu seperti menayangkan episode-episode secara beruntun, bergiliran, di ingatan saya acapkali berhenti sebentar untuk melihat pertandingan tersebut. Teriakan penonton; yang biasanya berasal dari tetangga atau orang tua kita. Perintah pelatih dadakan di sisi lapangan. Dan perayaan-perayaan saat sebuah tim mampu membuat sebuah gol.
Mengingat kebahagian itu, rasa-rasanya malah saya sendiri yang sedang di lapangan dan bertanding. Menunggu bola di umpan dari sisi kiri pertahanan, lalu bola itu dikirim lurus ke sisi kanan pertahanan lawan. Saya berlari mengejarnya dan ketika bola itu sudah mendarat di kaki, barulah saya lari sekuat tenaga menggiring bola itu sampai waktunya mengirim bola supaya menggetarkan jala lawan.
Di sanalah saya tumbuh besar, dari pertandingan ke pertandingan Tar-Kam 17 Agustusa-an yang diadakan tiap akhir pekan.
Saya ingat betul ketika diajak bergabung ke sebuah tim –yang menurut saya terbaik– dengan kualitas pemain di atas rata-rata. Penjaga gawang yang badannya cukup besar, pemain bertahan yang memiliki kecepatan dan fisik yang stabil, juga para gelandang seperti tidak pernah kehabisan akal untuk memvariasikan pola-pola serangan yang baru. Tentu tugas paling ringan ada pada penyerang. Siapa pun yang menjadi penyerang, jika setiap gol yang dibuat berupa pahala, maka penyeranglah yang akan masuk surga. Sialnya, di sanalah saya di tempatkan: sebagai penyerang. Sampai-sampai setiap pertandingan saya tidak pernah dimainkan.
Lama duduk menjadi cadangan akhirnya membuat saya sadar, kembali bersama tim kecil yang hanya bermain Tar-Kam jauh lebih membuat saya berguna. Bisa bermain habis-habisan setiap pertandingan demi kemenangan! Tim Tar-Kam saya ketika itu diberi julukan ‘Pasukan Ogah Mundur’ oleh pelatih dadakan.
Setiap bertanding, yang ada di kepala kami, Pasukan Ogah Mundur, hanyalah menang, menang, dan menang. Setiap kami bertanding sama sekali tidak pernah memikirkan akan mendapat selisih berapa gol dengan lawan. Yang kami pikirkan setiap bertanding hanyalah menang.
Kepercayaan diri yang ditanam setiap pertandingan akhirnya membawa saya menjadi juara satu di kompetisi Tar-Kam yang diadakan DKM Masjid. Juaranya mendapat Frankie, seekor kambing muda yang sangat sedih bila melihatnya disembelih. Seorang juragan baso yang kaya di tempat saya pun membeli Frankie itu untuk dipelihara. Dan, sebagai gantinya, tim ‘Pasukan Ogah Mundur di traktir makan sate kambing di daerah Babakan Madang, Sentul.
***
Menjadi juara memang menyenangkan, tapi membuat juara-juara baru itu jauh lebih membanggakan. Kalimat itu pernah saya dengar, namun entah oleh siapa.