Minggu ini Papa menulis puisi. Besok pagi ia ke kantor pos mengantar naskahnya buat di surat kabar. Pada minggu pagi saya baca di surat kabar itu, ada puisi Papa. Seninnya ia ke kantor surat kabar untuk mengambil upah. Setiba di rumah, Papa senyum-senyum. Dari caranya berjalan nampaknya ada yang berbeda. Saku celana sebelah kiri lebih tebal dari sebelahnya. “Hari ini kita sekeluarga makan di luar, tidak usah yang terlalu mahal, rumah makan yang biasa-biasa saja, asal kalian kenyang,” katanya. Ketika ingin bayar, amplop itu baru dibuka di depan bapak kasir. Ya, baru dibuka tanpa lebih dulu dilihat isinya. Uangnya kurang. Kami sekeluarga diminta pulang duluan.“Sebentar, ya, Papa masih ada urusan.”
Di rumah, Papa pulang dengan telapak tangan yang keriput. Seperti lama terkena air. Masih dengan senyum-senyum, “Tadi Papa diajak main air di tempat cuci piring oleh pemilik rumah makan.”
Minggu depannya Papa menulis cerpen. Dengan mesin tik peninggalan ayahnya, jemari Papa seperti sekelompok penari yang menari sampai musiknya berhenti. Sudah pukul dua pagi. Papa tertidur di sebelah mesin tiknya. Saya baca cerpen Papa. Ceritanya tentang satu keluarga yang makan di restoran paling mahal di sebuah kota yang sunyi. Supaya beda dari restoran-restoran lainnya, di restoran itu makannya tidak pakai piring. Tapi daun pisang. “Ini restoran mahal, alas makannya sekali pakai langsung buang,” kata pemilik restoran itu.
Sayang cerpen itu belum selesai….
Malam itu pertandingan bola sangat membosankan. Tim yang bertanding tidak ada yang bikin gol sampai menit 69. Seperti pertandingan amal saja. Dengan membawa mesin tik peninggalan ayahnya Papa, saya gotong itu ke depan tivi dengan hati-hati. Bak sayatan-sayatan dalam puisi.
Besok paginya saya ke kantor pos mengirim cerpen yang Papa dan saya buat. Baguslah pagi itu Papa tidak menanyakan cerpennya. “Pasti malaikat yang bawa cerpen Papa, dan ia lupa mengembalikannya, Nak,” kata Papa, “ini sudah bukan kejadian satu-dua kali. Biar Papa buat lagi yang baru nanti.”
Selasa siang ada yang mengetuk pintu rumah kami. Untung pintu itu tidak roboh. Bulan lalu Papa janji ingin membenarkan, tapi sampai orang itu datang belum dikerjakan. Saya buka pintu itu sambil diangkat. Ternyata bapak petugas kantor pos. Ia memberikan amplop yang di bagian depannya ada nama Papa.
Dilihat amplop itu oleh Papa dari jarak yang jauh dari mata.“Duh, mata Papa rasa-rasa sudah tidak awas.” Papa senyum-senyum dan mengantongi amplop itu di saku celananya sebelah kiri. “Bu, Bu, bikinkan Papa kopi, setelah itu kita sekeluarga makan di luar, ya.”
Kali ini kami sekeluarga dibawa Papa cukup jauh. Dua kali naik angkot. Entah rumah makan seperti apa yang dituju, yang jelas hanya Papa dan pikirannya yang tahu.
“Di rumah makan padang ini kita pasti bisa makan sampai kenyang. Nasi tambahannya tidak pernah dihitung. Bonus. Pemilik rumah makan ini dulu murid Papa menulis, tapi gagal, akhirnya ia banting stir dan akhirnya sukses, lho.”
Papa senyum-senyum. Seperti ada kebanggaan –atau kesombongan– yang sembunyi di balik senyumnya itu.
Minggu depannya lagi Papa menulis esai. Ditemani radio usang, Papa menulis sambil menyanyi meski suaranya jauh dari biasa-biasa. Tapi hari itu Papa terlihat sangat riang. Ibu mengantarkan kopi di meja kerjanya. Sebelum pergi, Papa kini menari. Bukan. Mengajak menari lebih tepatnya. Tangan Ibu yang memegang nampan dijadikan seolah-olah payung olehnya. Papa, juga Ibu menari dan menari bersama. Begitulah Papa saya…, begitulah keluarga saya….
Besoknya saya diajak Papa ke kantor pos.
“Kamu mesti tahu cara surat-menyurat, Nak,”
“Tapi bukankah sudah ada email, Pa?”
“Ya, namun tak ada yang lebih romantis daripada surat-menyurat. Perkembangan jaman terlalu serius, dan teknologi bisa mengubah semua, tapi tidak untuk hal-hal romantis yang manusia bisa buat dari hati yang tulus. Ingat itu!”
Saya mengangguk. Dan antrian di kantor pos makin panjang.
Senin paginya Papa duduk-duduk di teras rumah sambil minum kopi. Saya diminta mengambilkan kertas dan pensil. Papa mau bikin puisi. Ini kertas ke-11 dan lima judul puisi yang dibuat, tapi kata Papa kertasnya masih kurang. Saya ambilkan beberapa buku tulis sekolah saya yang bagian belakangnya tidak habis. “Nah, begini, dong, anak pintar,” ujar Papa senyum-senyum.
Sudah habis dua gelas kopi. Buku-buku tulis sekolah saya pun habis ditulisi puisi. “Kenapa Pak Pos gak datang, ya, apa lagi sakit?” ucap Papa sendiri.
Saya baru sadar, Papa menulis puisi dan minum kopi untuk menunggu. Produktif sekali Papa saya ini. Minggu ini kami sekeluarga tidak diajak Papa makan lagi di luar.
Minggu depannya lagi Papa tidak menulis puisi, cerpen, atau esai untuk surat kabar. Malam-malam, saya dapati Papa dengan mesin tik peninggalan ayahnya, tampak serius. Baru mengetik beberapa kalimat kertas di mesin tik itu langsung dikeluarkan dan dibuang. Tempat sampah yang ada di sisi meja kerja Papa malam itu akhirnya berguna juga.
“Nak, simpan ini di saku celanamu dan besok antar ke kantor pos, ya,”
“Ini apa?” kata saya.
“Surat cinta,”
Perpustakaan Teras Baca, Okt 2014 – Jan 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H