Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Saku Celana

11 Januari 2015   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209577281718396722

Papa senyum-senyum. Seperti ada kebanggaan –atau kesombongan– yang sembunyi di balik senyumnya itu.

Minggu depannya lagi Papa menulis esai. Ditemani radio usang, Papa menulis sambil menyanyi meski suaranya jauh dari biasa-biasa. Tapi hari itu Papa terlihat sangat riang. Ibu mengantarkan kopi di meja kerjanya. Sebelum pergi, Papa kini menari. Bukan. Mengajak menari lebih tepatnya. Tangan Ibu yang memegang nampan dijadikan seolah-olah payung olehnya. Papa, juga Ibu menari dan menari bersama. Begitulah Papa saya…, begitulah keluarga saya….

Besoknya saya diajak Papa ke kantor pos.

“Kamu mesti tahu cara surat-menyurat, Nak,”

“Tapi bukankah sudah ada email, Pa?”

“Ya, namun tak ada yang lebih romantis daripada surat-menyurat. Perkembangan jaman terlalu serius, dan teknologi bisa mengubah semua, tapi tidak untuk hal-hal romantis yang manusia bisa buat dari hati yang tulus. Ingat itu!”

Saya mengangguk. Dan antrian di kantor pos makin panjang.

Senin paginya Papa duduk-duduk di teras rumah sambil minum kopi. Saya diminta mengambilkan kertas dan pensil. Papa mau bikin puisi. Ini kertas ke-11 dan lima judul puisi yang dibuat, tapi kata Papa kertasnya masih kurang. Saya ambilkan beberapa buku tulis sekolah saya yang bagian belakangnya tidak habis. “Nah, begini, dong, anak pintar,” ujar Papa senyum-senyum.

Sudah habis dua gelas kopi. Buku-buku tulis sekolah saya pun habis ditulisi puisi. “Kenapa Pak Pos gak datang, ya, apa lagi sakit?” ucap Papa sendiri.

Saya baru sadar, Papa menulis puisi dan minum kopi untuk menunggu. Produktif sekali Papa saya ini. Minggu ini kami sekeluarga tidak diajak Papa makan lagi di luar.

Minggu depannya lagi Papa tidak menulis puisi, cerpen, atau esai untuk surat kabar. Malam-malam, saya dapati Papa dengan mesin tik peninggalan ayahnya, tampak serius. Baru mengetik beberapa kalimat kertas di mesin tik itu langsung dikeluarkan dan dibuang. Tempat sampah yang ada di sisi meja kerja Papa malam itu akhirnya berguna juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun