Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tunas Kelapa

15 Januari 2015   12:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14212732991779324596

ilustrasi

Matahari muncul dengan bersahaja, sinarnya bak pijar lampu petromak. Saya dapati beberapa tunas pada fajar yang anggun di bibir pantai. Seperti bayi rembulan semalam, yang dibawa hanyut ombak hingga sisi. Tunas-tunas itu, tunas rindu. Kau tahu, selalu ada kisah rindu yang tersimpan hangat di bawah pasir-pasir pantai. Dan tunas-tunas itu perlahan akan tumbuh.

Pada sinar remang rembulan, kau akan lihat, tunas-tunas itu berterbangan. Seperti kunang-kunang yang kesepian, dan mencari teman.

Itu kisah yang saya dapat dari penjual kopi keliling, yang biasa berjualan di sekitar pantai.

Lain orang, maka lain juga ceritanya….

Suatu malam diakhir tahun 1998 pernah ada seorang bapak tua menemukan banyak mayat di pinggir pantai. Tanpa kepala. Banyak dugaan kalau itu mayat aktivis-aktivis yang hilang lalu mayatnya dibuang. Setiap malam purnama, kau akan melihat beberapa bayangan orang tanpa kepala dan memakaikan tunas-tunas itu sebagai pengganti kepalanya.

Begitu cerita penjual es kelapa hijau.

“Dari mana kau dapat cerita itu?”

“Dari para pedagang keliling di pantai ini,” jawab saya, sembari menikmati segelas kopi di warung yang tak jauh dari batu karang raksasa.

“Mau dengar cerita yang lain?”

“Ada lagi?”

Handi dan Dini, namanya. Mereka sepasang kekasih yang sedang bulan madu. Dulu pantai masih penuh semak belukar. Pohon-pohon kelapa hidup tak berjarak. Tunas-tunas kelapa sudah mulai tumbuh. Setiap senja, pantai ini akan menguning dan airnya menyerupai bir. Namun sial, ketika mereka berdua sedang main “mengubur diri” di pasir pantai, tiba-tiba ombak besar datang. Hanyut sudah. Dua hari mayat mereka tidak ditemukan. Hingga penjaga pantai membuat laporan bahwa mereka hilang.

Setelah kejadian itu, lambat laun pantai ini sepi pengunjung. Penjaga pantai pun alih profesi menjadi tukang ojek. Pantai tidak terurus. Lalu datang seorang pengembang ingin membangun kawasan penginapan. Pohon-pohon kelapa ditebang. Semak belukar dibakar habis. Pada peletakan batu pertama itulah, tiba-tiba ada sepasang tunas kelapa di bibir pantai.

Di tengah pembangunan, banyak pekerja yang kesurupan. Juga melihat tunas-tunas kelapa berterbangan setiap malam. Bahkan, di dalam mimpi pun mereka masih dihantui: tunas-tunas kelapa yang membenturkan ke kepala teman-teman pekerja.  Dan pembangunan tidak jadi dilanjutkan.

Kopi saya telah tandas. Di dalam warung, penjual kopi itu seperti memasukan sesuatu ke kantung keresek hitam dan meletakannya di atas meja. “Itu tunas kelapa, Pak? Mau ditanam di mana?” Ia diam. Hingga saya sadar, dari celah bilik warungnya, di atas meja terlihat rambut yang menjuntai keluar dari kantung itu. Pemilik warung itu keluar tak berkepala.

Perpustakaan Teras Baca,  Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun