Handi dan Dini, namanya. Mereka sepasang kekasih yang sedang bulan madu. Dulu pantai masih penuh semak belukar. Pohon-pohon kelapa hidup tak berjarak. Tunas-tunas kelapa sudah mulai tumbuh. Setiap senja, pantai ini akan menguning dan airnya menyerupai bir. Namun sial, ketika mereka berdua sedang main “mengubur diri” di pasir pantai, tiba-tiba ombak besar datang. Hanyut sudah. Dua hari mayat mereka tidak ditemukan. Hingga penjaga pantai membuat laporan bahwa mereka hilang.
Setelah kejadian itu, lambat laun pantai ini sepi pengunjung. Penjaga pantai pun alih profesi menjadi tukang ojek. Pantai tidak terurus. Lalu datang seorang pengembang ingin membangun kawasan penginapan. Pohon-pohon kelapa ditebang. Semak belukar dibakar habis. Pada peletakan batu pertama itulah, tiba-tiba ada sepasang tunas kelapa di bibir pantai.
Di tengah pembangunan, banyak pekerja yang kesurupan. Juga melihat tunas-tunas kelapa berterbangan setiap malam. Bahkan, di dalam mimpi pun mereka masih dihantui: tunas-tunas kelapa yang membenturkan ke kepala teman-teman pekerja. Dan pembangunan tidak jadi dilanjutkan.
Kopi saya telah tandas. Di dalam warung, penjual kopi itu seperti memasukan sesuatu ke kantung keresek hitam dan meletakannya di atas meja. “Itu tunas kelapa, Pak? Mau ditanam di mana?” Ia diam. Hingga saya sadar, dari celah bilik warungnya, di atas meja terlihat rambut yang menjuntai keluar dari kantung itu. Pemilik warung itu keluar tak berkepala.
Perpustakaan Teras Baca, Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H