Kadang ada yang saya sendiri tidak mengerti, seperti mengapa saya setiap hari –secara sadar atau tidak –mengambil satu uang lima ribu dari dompet, lalu bergegas ke warung untuk membeli dua batang rokok kretek dan satu bungkus kopi hitam.
Entahlah. Bahkan, kalau tak ada selembarpun uang di dompet, saya akan mencarinya di atas kulkas, di sekitar meja televisi, atau di kantung celana yang digantung – sambil mengingat kalau pernah menyimpan uang dan lupa mengambilnya – buat membeli hal serupa: dua batang rokok dan satu bungkus kopi hitam.
Sebenarnya saya ingin menghentikan rutinitas itu, tapi sayangnya, saya adalah orang yang mudah lupa ketika bangun tidur pagi-pagi.
Kadang benar yang suka dikatakan banyak Cendikiwan: manusia adalah tempatnya lupa.
Kali pertama saya merokok itu kelas 5 SD. Saya ingat, siang itu teman saya datang ke rumah dan mengajak ke pos ronda.
Dari saku celananya, ia mengeluarkan satu batang rokok kretek lengkap dengan koreknya.
Rokoknya puntung, tapi masih panjang. Katanya, “ini rokok tukang bangunan rumah gue, tadi baru diisep sekidikit tapi keburu dibawain makanan. Jadi aja sama dia dipuntungin.”
Terik siang dan rokok kretek adalah perpaduan yang tak cocok.
Tenggorokan mendadak kering. Saya hanya menghisap rokok itu beberapa kali, itupun sambil terbatuk.
Dalam hati, saya mengutuk diri: ini akan menjadi yang pertama, sekaligus yang terakhir.
Saya pelupa. Besoknya saya merokok lagi. Tapi tidak dengan rokok kretek, sepulang sekolah, saya beli yang ada busa di bagian bealakangnya.