Politisi Seharusnya Pejuang
Harianto
Beberapa bulan kedepan pemilu tingkat nasional bakal digelar. Parpol-parpol sudah semakin sering melakukan konsolidasi guna meracik strategi pemenangan. Mulai dari menentukan “gacho” (calon yang diusung), lobi-lobi koalisi antar parpol, menghitung persediaan dana dari database donator sampai konsep kampanye. Sekilas, ini adalah permainan karena bagi pemain ini adalah hobi. Kegalauan penulis akan diarahkan pada pemainnya yang menjadi salah satu elemen penting dalam proses demokrasi saat ini. Pemain adalah politisi yang memiliki kemampuan berpolitik dalam rangka memenangkan pertarungan dengan cara tertentu. Namun kemudian, kepentingan apa sebenarnya yang dibawa para pemain ini?
Tidak semua orang memiliki kelebihan dalam berpolitik. Penulis tidak dalam konteks memperdebatkan politik itu kotor atau tidak, halal atau haram. Karena kita seharusnya sudah selesai dalam tahap itu. Sekarang gilirannya untuk melihat dan menerka para pemain didalamnya, karena pemain inilah nanti yang akan mengarahkan nasib bangsa kedepan. Tentunya, kepentingan paling mendasar yang harus dibawa adalah kepentingan rakyat seluruh Indonesia. Betul??. Karena jargon itu yang kemudian sering diucapkan oleh para pemain didepan umum. Apa kalau begitu kepentingan rakyat?. Kepentingan rakyat oleh para pemain didefinisikan sebagai kesejahteraan bla..bla..bla..,keadilan bla..bla..bla,rasa aman bla..bla..bla dan lain-lain. Artinya pemain ini adalah sekelompok pejuang yang ingin memperjuangankan nasib orang banyak (Aristoteles). Begitu luar biasa dan muliannya sekelompok pemain ini karena mereka adalah pejuang. Mereka mendahulukan kepentingan orang banyak (rakyat) daripada kepentingan pribadi.
Lantas dari mana kemudian munculnya jiwa mulia tersebut yang ada dalam diri para pemain?. Sejauh ini pemain-pemain politik di Republik ini terdiri dari bermacam-macam latar belakang. Mulai dari aktivis, akademisi, militer, tokoh agama, pengusaha sampai artis. Pendekatan yang digunakan dari bermacam-macam latar belakang tersebut bermacam-macam pula sesuai kompetensi dibidangnya masing-masing. Satu contoh, jika artis menggunakan ketenaran dan finansialnya sebagai modal mendasarnya, Tentunya akan berbeda dengan pendekatan para akademisi. Begitupun dengan yang lain. Dan saat ini,Posisi-posisi strategis untuk mengendalikan republik ini sebagian besar dipegang dari latar belakang diatas. Mereka berjuang membuat kebijakan,menjalankan kebijakan mengawal kebijakan dan lain-lain secara bersama-sama. Meskipun toh, realitasnya justru kolaborasi mereka Nampak jauh lebih kompak jika korupsi bersama-sama.
Nah kalimat terakhir pada paragraf sebelumnya itulah masalahnya sekarang. Iya..justru mereka korup melakukan hal-hal yang kontradiktif dengan jiwa seorang pejuang. Jika ditelisik secara logika sederhana, harta-harta hasil korupsi selain untuk diri sendiri, mereka juga salurkan untuk keluarga, teman, teman dari teman,orang yang berjasa padanya yang itu karena ikatan-ikatan tertentu dilingkungan latar belakangnya masing-masing. Mereka lupa makna kehormatan, mereka lupa definisi yang mereka buat sendiri. bukan karena mereka tidak tahan godaan yang paling berpengaruh dalam melakukan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Melainkan mereka belum selesai dalam proses memahami siapa sebenarnya seorang pejuang sesungguhnya, sehingga abu-abulah yang ada dan hanya ikut kebanyakan. Kalau dalam sepakbola itu adalah pemain yang tidak memiliki visi bermain sepakbola.
Pemain politik adalah pejuang kehormatan bukan karena persaudaraan (aristoteles).
Pejuang itu rela merasakan hawa dipenjara dan yang diperjuangkan akan menikmatinya (penyesuaian bahasa Tan Malaka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H