Liga Super Cina atau Chinese Super League menjadi buah bibir. Kehadiran pemain top menjadi super perhatian di berbagai media, mengalahkan perhatian kita pada dada montok model Rhere Valentina. Dengan kekuatan dana yang tak terbatas dan dukungan Presiden Xin Jin Ping menjadikan asa persepakbolaan Cina bangkit.
Kepastian yang diberikan pemerintah menjadi keyakinan bagi pengusaha di Cina, atau belakangan populer dengan nama Tiongkok. Target ambisius pemerintah menciptakan industri olahraga senilai 800 miliar dolar atau 1% dari PDB pada tahun 2025. Luar biasa, biasa di luar!
Belajar dari Amerika Serikat (AS) dan Qatar, mendatangkan pemain uzur bukan cara tepat mengembangkan dan menaikkan reputasi sepakbola. Maklum, publik sepak bola juga tak bisa dibohongi oleh pemain-pemain yang kakinya mulai keriput dan rambutnya mulai beruban.
Maka tak heran, pemain-pemain besar berlabel bintang dapat didatangkan ke Cina. Sebut saja Axel Witsel, Oscar tanpa de la Hoya, Carlos Tevez, Jackson Martinez, Fredy Guarin, Ramires, Hulk, John Obi Mikel, dan Ezequiel Lavezzi.
Jika Indonesia lagi heboh isu serbuan tenaga kerja asing dari Cina yang berupa kuli dan buruh kasar, beda dengan Cina yang diserbut tenaga kerja asing berupa pemain-pemain bola terkenal.
Berdasarkan data Transfermarkt, sejak musim 2013/2014 sampai 2016/2017, Liga Super Cina sudah mengeluarkan uang hampir 1 miliar euro, atau Rp 14,3 triliun. Entah berapa mangkok bakso yang dihabiskan dengan uang segitu.
Generasi awal yang pindah ke Cina. Gervinho, Jackson Martinez, dan Ramires. (Sports Illustrated)
Layaknya ibu-ibu komplek beli sayur di abang-abang keliling, beberapa pelatih juga ikut mengomentari duit besar yang berputar di Liga Cina. Apalagi ujung-ujungnya untuk merayu anak asuhnya.
Antonio Conte yang baru saja kehilangan dua pemainnya, Oscar dan Mikel, angkat bicara. Dia merasa tawaran uang yang menggiurkan merupakan kambing hitam atas kepergian Oscar yang lebih memilih pergi membawa koper, meninggalkan teman-temannya yang belum tereliminasi.
“Saya tak mau menyetujui hal-hal seperti ini, karena kita akan disuguhkan dengan pemberitaan tentang uang yang sangat besar dan itu sesuatu yang salah. Saya mendengar jumlah tawaran yang akan diterima Tevez, sangat wajar seorang pemain tak menolak hal seperti itu,” ungkap Conte, dikutip dari Superball.
Pelatih Meriam London, Arsene Wenger, sebagai sesepuh di persepakbolaan Inggris, dengan bijak mengatakan pentingnya sebuah kultur sepakbola dalam membangun liga top. Membangun kultur sepakbola tidak hanya dengan mengandalkan uang besar.
Perpindahan para pemain top ke Liga Cina menjadi perhatian pelatih yang makin hari makin terlihat tua itu. Biasanya bermain di luar Liga Eropa dilakoni pemain yang sudah melewati masa emasnya. Namun, pemain muda dan pemain yang berada di puncak karier malahan memilih pindah.
“Ketika anda bermain di liga terbaik, melawan pemain terbaik, mendapatkan gaji yang besar. Jadi saya pikir kombinasi yang ada di Liga Primer Inggris sudah terbaik. Jadi mengapa pemain harus meninggalkan,” tukas Wenger.
Pernyataan lebih keras diungkapkan Juergen Klopp, pelatih yang senang memelihara jenggot di dagu. Bagi sebagian pemain ketika uang yang berbicara, tidak ada senjata (cara) untuk menahan mereka.
“Usually it’s another part of (a player’s) career. It’s not a league you want to play in. The only way is the money. “You have no real weapons to hold him here, that’s how it is,” begitu katanya kepada ESPN.
Artinya bisa Anda sarikan sendiri di Google Translate. Yang jelas, bermain di liga terbaik dunia bukan lagi menjadi ukuran seorang pemain, menjadi lawan tangguh bagi pemain bintang bukan lagi suatu keinginan. Seperti lirik lagunya Nicky Astria, o u wow lagi lagi uang, memang uang. Uang yang jadi penentunya.
Akhirnya, hidup itu pilihan dan memutuskan, seperti jargon partai politik negeri ini. Tidak ada salahnya juga sebagai seorang pemain professional untuk bermain di liga manapun. Ditambah pemain sepakbola mempunyai karier yang tidak lama.
Karier di sepakbola hanya 10 sampai 15 tahun. Di Liga Cina pemain digaji 5 sampai 6 kali lipat. Itulah yang ditawarkan. Mungkin beberapa dari mereka berpikir lebih visioner, memikirkan nasibnya pada masa yang akan datang, apalagi di zaman serba susah kayak begini.
Itulah yang diungkapkan Sinisa Mihajlovic, pelatih Torino, rival klub yang baru berganti logo. Dia tetap menghargai orang-orang yang menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Dalam hal ini adalah uang.
“Sejujurnya, saya sempat dapat tawaran dari Cina dan tidak bisa tidur memikirkan gaji yang saya dapat. Tapi, dalam kehidupan Anda harus membuat keputusan dan itulah pilihannya. Anda harus tetap menghormati mereka yang pergi ke Cina untuk alasan uang. Karier pemain tidak lama, sedangkan karier pelatih jauh lebih panjang,” ucapnya dikutip dari CNN.
Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya. Sepertinya sah-sah saja buat pemain untuk pindah ke Cina karena alasan uang. Tapi, untuk menjadikan Cina sebagai liga top dunia, nanti dulu. Jelas tidak bisa instan kayak Indomie, tentu masih butuh waktu bertahun-tahun lamanya.
Tulisan ini sudah dipublish pada 26 Januari 2017
Sumber : https://bolatory.com/pro-kontra-para-pelatih-dunia-soal-transfer-sadis-dari-cina/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H