Yang pada saat itu merupakan kekuatan dunia dengan lev yashin蜉 sebagai salah satu bintang pada saat itu. melihat hal tersebut, Dibawah Presiden soekarno Indonesia dengan kebijakan politiknya lebih kepada romansa politik luar negeri yang menjadikan sepakbola sebagai alat politik. Presiden Soekarno memanfaatkan sepakbola untuk memainkan peranan politik luar negeri dan memainkan semangat rasa nasionalisme bangsa.
Selanjutnya, pada zaman orde baru, yang memegang tampuk kekuasaan di PSSI biasanya merupakan seorang menteri atau pejabat militer maupun kader golongan partai penguasa yang ditunjuk langsung oleh sang presiden. Sepakbola pada masa ini dijadikan alat politik negara untuk menguatkan kekuasaan rezim tersebut. seperti Kardono, badarsono, moehono, azwar anas, dan ali sadikin yang semuanya orang terdekat presiden.
Lebih jauh dari itu animo penonton sepakbola yang besar dimanfaatkan rezim orde baru dalam mempertahankan kekuasaan pemerintah pusat dan dijadikan organ politik bagi penguasa daerah. Jika melihat kepengurusan PSSI pada masa itu, dari elitnya sampai kepengurusan di pengda maupun pengprov yang terlibat didalamnya merupakan orang terdekat presiden yang berasal dari militer atau dari elit partai yang berkuasa. bahkan, gubernur, bupati, atau walikota yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah sebagian besar dijadikan ketua umum klub-klub tersebut. Banyak para penguasa yang ingin menjadi ketua umum dikarenakan sepakbola merupakan ladang yang basah untuk mendapatkan uang dan tidak pernah dilakukan audit dalam penggunaan anggaran tersebut.
Sekarang ini, sepakbola Indonesia Menurut kolumnis terkenal mengatakan bahwa “dalam sepakbola Indonesia sekarang ini bukan lagi menjadi sebuah politik negara melainkan politik partai”. Sebagaimana aturan FIFA yang melarang pemerintah melakukan intervensi terhadap anggota federasi sepakbola tersebut, negara tidak lagi diperbolehkan terlibat politik didalam sepakbola. Itulah yang terjadi di persepakbolaan Indonesia sekarang dimana kader-kader partai saling berebut menjadi ketua umum.
Yang pada akhirnya secara eksplisit, PSSI dijadikan komoditas politik untuk menaikan pamor suatu partai. Masih ingatkah, mahalnya harga tiket dalam penyelenggaraan partai final AFF di Jakarta. Tidak digubrisnya permintaan presiden SBY kepada PSSI untuk menurunkan harga tiket partai final tersebut. namun, sebaliknya permintaan dari salah satu ketua umum partai politik langsung ditindaklanjuti oleh sang ketua PSSI. Selain itu, spanduk yang terpasang di stadion baik di jakarta maupun di malaysia memperlihatkan tokoh salah satu tokoh partai pada saat partai final. Suatu hal yang menjadi jawaban kenapa sepakbola Indonesia tidak berjalan secara profesional.
Bagi persepakbolaan Indonesia yang kita cintai ini, menjauhkan sepakbola Indonesia dari politik hanya bisa dilakukan dalam mimpi karena sulit untuk diwujudkan. Sesuai peribahasa “ada gula ada semut”Animo penonton yang besar membuat partai-partai politik fokus untuk bisa menjadi orang nomor satu di PSSI. banyak orang yang beranggapan bahwa sepakbola bisa dijadikan alat untuk mencapai kemenangan politik yang sesungguhnya. Tidak mengherankan, kenapa konflik PSSI sekarang tidak ada ujungnya, itulah politik sepakbola indonesia“politik negara yang berubah menjadi politik partai”.
Melihat Indonesia menjadi juara hanya bisa dilakukan jika elemen bangsa dapat bersatu untuk memperbaiki keadaan sepakbola Indonesia. Yang dikorbankan dari konflik ini bukan hanya para suporter , pemain sepakbola tapi lebih besar lagi adalah Bangsa ini telah dikorbankan oleh sekelompok orang ataupun golongan tertentu. Ketidakprofesionalan yang terjadi dan kisruh yang berlarut-larut membuat para pencinta sepakbola Indonesia harus kembali diuji kesabarannya. sekian.
*diolah dari berbagai sumber
Tulisan ini dibuat pas masih menjadi mahasiswa pada August 26, 2013 at 7:23pm yang ditulis di notes facebook,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H