[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="tctechcrunch.files.wordpress.com"][/caption] Kamis 17 Maret 2011, mungkin salah satu momen terpenting bagi harian legendaris, The New York Times, dan bisa jadi, bagi dunia jurnalistik secara umum. Setelah 14 bulan perencanaan, The Times akhirnya meluncurkan sistem pembayaran untuk akses versi onlinenya. Sekarang ini, pengenaan tarif untuk akses berita online masih jadi hal kontroversial. Untuk apa membayar sesuatu yang mungkin bisa didapat gratis di tempat lain? Times bukan harian besar pertama yang mengenakan tarif untuk situsnya--Wall Street Journal dan Financial Times sudah terlebih dahulu--namun Times berbeda. Ken Doctor menyebut usaha Times sebagai "loncatan besar." Sebagai salah satu harian dengan kualitas jurnalisme terbaik, Times menjadi acuan bagi seluruh harian di dunia. Dan yang terpenting, tambah Ken, setelah 15 tahun beroperasi online, Times menunjukkan bahwa pendapatan dari iklan digital saja tidak cukup untuk menunjang kinerja jurnalistik. Perlu ditambah dengan pendapatan dari sirkulasi digital juga. "Sederhananya, ini adalah urusan hidup atau mati," jelas Ken. Dan memang, kondisi industri membuat suratkabar tidak punya banyak pilihan. Seperti dituliskan Jeremy Peters, pendapatan iklan untuk suratkabar Amerika tahun 2010 menurun 6,3 persen menjadi $25,8 miliar, dibanding tahun sebelumnya. Pendapatan iklan group Times sendiri  menurun 2,1 persen menjadi $780,4 juta. Begitu pentingnya momentum ini, hingga pemilik Times, Arthur Ochs Sulzberger Jr., sendiri yang mengumumkan rencana pembayaran ini. "Minggu ini menandakan transisi penting bagi The New York Times. Ini langkah penting yang kami harapkan bisa anda lihat sebagai bentuk investasi di harian ini, hal yang akan meningkatkan kemampuan kami untuk menyediakan jurnalisme berkualitas tinggi untuk pembaca," tulis Arthur. Usai mengkonfirmasi rencana pembayaran situsnya, reaksi muncul dari berbagai pihak. Institusi dan figur penting dalam dunia jurnalistik macam Nieman Foundation dan Poynter Institute bersuara. Ribuan komentar di Facebook dan Twitter, ada yang mencela ada juga yang menyetujui. Berbagai tulisan analisis beredar. Semua menandakan satu hal, dunia sedang mengamati perkembangan Times. Jika ia berhasil, akan menjadi momen bersejarah dalam jurnalisme di era new media ini. Namun jika gagal, jurnalisme era new media harus memeras otak lebih keras. Waktu terus berpacu. Jika tidak cepat ditemukan solusi terbaik bagi situasi sulit ini, kita khawatir, jurnalisme bermutu bisa hilang ditelan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H