Malam sedari tadi telah menyapa. Â Sudahkah dia menjawab? Sepertinya untuk membalas sapaan saja ia sudah tak bersemangat.
 "Apa kabarmu hari ini, Aurora?" tanya lampu belajar yang sedang memperhatikannya.
Tetap tak ada sahutan yang diberikan. Tatapan kosong masih terarah jauh ke langit-langit rumah. Semua orang juga tahu, tanya yang tak terjawab seringkali bisa jadi pertanda luka yang sedang menetap.
Ada banyak sakit yang sedang menempel di angan Aurora hari ini. Mungkin saja karena sedang terjadi pergantian musim di pikirannya. Hari-hari panas telah berganti dengan dinginnya hujan akhir tahun. Sialnya, angin kencang menjadi awalan yang kurang menyenangkan bagi suasana di isi kepala Aurora.
"Hujan adalah teman baikku, tapi mengapa hari ini dia menggandeng badai? Mungkin dia sengaja ingin membuatku cemburu." batin Aurora melihat hujan sedang bersenda gurau bersama badai dalam logikanya. Badai memang selalu jadi momok bagi setiap umat tak terkecuali bagi Aurora.
Mata coba ditutupnya. Mungkin saja dengan berhenti melihat ke atas, semua luka di angan akan terlepas. Namun tetap saja bukan itu solusinya, karena perkara sebenarnya adalah badai yang belum berhenti di pikirannya. Bagaimana memberhentikan badai? Kan tak ada manusia yang bisa menyuruh angin berhenti saat ia sedang semangat meniup?
Saat isi pikiran sedang porak-poranda oleh hujan dan badai, hati sedang nyaman dipeluk ragu. Semua sahabat seolah telah berkhianat. Terang saja, pikiran dan hati selalu jadi ruang terbaik untuknya menghabiskan waktu gembiranya, tapi hari ini kedua ruang tersebut penuh oleh ketidakkaruan.
"Aurora? Tidak bisa tidur lagi malam ini?" bisik lembut sejenak mengalihkan perhatian Aurora dari badai di otaknya. Sang ibu sudah hafal anaknya. Apalagi sepulang sekolah tadi, Aurora tidak seriang biasanya.
"Ia mama, ada badai di pikiranku hari ini. " Aurora berkata lemas. Jika wajah riang berpaling, Aurora selalu butuh seseorang untuk menemaninya melawan sepi dan mamanya akan selalu jadi orang yang tepat.
"Bukankah badai juga selalu menerpa pikiranmu, mama? Mengapa kau tak pernah takut?" Lanjut Aurora dengan tanya pada sang mama.
"Badai? Yah, mama juga merasa takut. Tapi meskipun kita takut terhadap badai, kita harus tahu bahwa badai pasti akan berakhir. Jadi tugas kita adalah menunggu badai tersebut berakhir." Jawab sang mama sambil mengusap kepala Aurora yang sedang bergejolak.