Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Matinya Hukum Progresif Bersama Wafatnya Prof. Satjipto

9 Januari 2010   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="290" caption="Foto"][/caption] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (79 tahun), Dekan Fakultas Hukum Undip, Penasihat Ahli Kapolri, Guru Besar Tamu di Departemen of Law Hiroshima University telah dipanggil Allah SWT pada hari Jumat (8/1/2010) sekitar pukul 09.00 (sini). Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagi beliau, dilipatgandakan pahalanya dan diampuni dosa-dosanya. Amin. Prof. Satjipto, yang biasa dipanggil Pak Tjip, dikenal dengan teori hukum progresifnya. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan kita dari ”belenggu kerangkeng hukum”. Berikut adalah pendapat beliau sebagaimana ditulis dalam di Kompas, 15 Oktober 2005 dengan judul,”Hidup Tak Boleh Dipenjara Undang-Undang” Saya melihat ada yang salah dalam cara kita berhukum, yaitu hukum adalah urusan perundang-undangan dan “bisnis” peraturan. Menjalankan hukum itu pasrah bongkokan pada peraturan atau pasal undang-undang itu keliru. Kita harus mengubah dasar pemikiran, paradigma, hukum itu untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Penegakan hukum harus progresif dalam arti pembebasan dari dominasi perundang-undangan (bukan berarti chaos/kekacauan) tetapi kepentingan manusia secara luas harus diutamakan. KPK masuk ke MA (penggeledahan) merupakan upaya pembebasan (progresif) tsb. Apa yang dilakukan KPK, sekalipun misalnya dengan menjebak, termasuk langkah penegakan hukum yang progresif. Pendapat Prof Satjipto tersebut merupakan harapan beliau dengan manuver-manuver KPK dalam menjalankan hukum progresif. Hukum progresif terbukti bisa diterapkan di Indonesia. Hukum progresif terbukti banyak didukung masyarakat Indonesia yang mengapresiasi manuver-manuver KPK. Prof Satjipto pasti kecewa melihat berbagai upaya pelemahan KPK telah mampu membuat KPK mandul, tidak berani lagi menerapkan hukum progresif. Kebijakan (keputusan) yang telah dikriminalisasi secara jangka panjang akan berdampak pada kurang beraninya KPK menerapkan hukum progresif. KPK sudah tidak ada bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan yang menerapkan hukum konvensional (KUHP, KUHAP, UU Tipikor, dst), tanpa berani melakukan terobosan-terobosan hukum. Redupnya KPK akan kembali menenggelamkan penegakan hukum di Indonesia. Pak Tjip mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia merupakan salah satu sistem hukum terburuk di dunia. Formalitas hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum di Indonesia. Hukum hanya dijalankan berdasarkan pasal-pasal yang tertulis tanpa mau mengindahkan dinamika dan rasa keadilan di masyarakat. Beliau menyebut telah terjadinya Kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Pengadilan memutus semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafisrannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus mendengarkan dinamika masyarakat. Kita telah menyaksikan bagaimana hukum ditegakkan. Kisah Nenek Minah yang mencuri buah kakao, Rasjo seorang kakek berusia 77 tahun yang mencuri sabun mandi, dan Endi Rohendi, seorang buruh tani di Sumedang, Jawa Barat, terancam dijerat hukuman lima tahun penjara karena mencuri sehelai celana dalam milik seorang wanita, merupakan contoh hukum bekerja efektif terhadap rakyat biasa. Sedangkan kasus-kasus BLBI, Pak Harto, dan kasus-kasus lainnya yang melibatkan kaum elit, sulit sekali dijerat oleh hukum. Anggodo masih bebas berkeliaran seolah tak tersentuh hukum. Saya pribadi pesimis KPK berani menangkap Anggodo. Kenapa? Gigi KPK telah ompong. Hukum progresif telah mati di KPK. Dengan hanya melihat pasal-pasal yang tertulis tanpa mau mengindahkan dinamika dan rasa keadilan di masyarakat, sulit sekali rasanya menjerat Anggodo. Berpulangnya Prof Satjipto semakin menyuramkan proses penegakan hukum di Indonesia. Beliau menyusul kepergian Lopa dan Hoegeng, para pendekar hukum yang telah dipanggil terlebih dahulu. Bangsa Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Karya beliau yang banyak ditulis di Kompas (kemudian diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam buku yang berjudul,”Membedah Hukum Progresif” ) semoga bisa mendorong aparat penegak hukum dan penguasa untuk bisa menerapkan hukum berdasarkan hati nurani. Kepergian beliau semoga tidak mematikan konsep hukum progresif yang beliau gagas. Selamat jalan Pak Tjip ….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun