Mohon tunggu...
harry budiyanto
harry budiyanto Mohon Tunggu... -

Pengamat apa saja yang lagi "hot" dan menarik. Belajar menulis untuk mengasah otak dan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Jualan" Korupsi, Semua Pasti Untung!

7 Desember 2009   23:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:01 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Jualan Korupsi,” demikian kira-kira pendapat para "Dewa Marketing" seperti Philip Kotler (versi Internasional) atau Hermawan Kartajaya (versi Asia) ketika ditanya produk apa yang paling gampang dipasarkan di Indonesia pada Triwulan ke-4 tahun 2009 ini. Apapun yang berhubungan dengan kata “korupsi” niscaya akan laku dijual. Ketika Polri "menjual korupsi" Bibit-Chandra, konsumen (publik) menyambutnya dengan antusias. Tatkala DPR menjual "korupsi“ Century, minat publik juga tdk surut. Puncak dari "jualan“ korupsi periode ini akan terjadi esok pada tanggal 9 Desember 2009 yang merupakan Hari Antikorupsi Sedunia. SBY mengucapkan selamat datang kepada pihak-pihak yang tidak pernah terdengar atau minimal sayup-sayup terdengar dalam pemberantasan korupsi, namun tiba-tiba saja sangat fasih bicara korupsi. Tidak lupa SBY memperingatkan tentang kemungkinan adanya motif politik ("menjatuhkan pemerintah") dari Gerakan 9 Desember tersebut. Gerakan Indonesia Bersih segera "membeli“ tawaran SBY tersebut dengan berbagai pernyataan "sinis“. Media massa seolah mendapatkan mangsa empuk untuk diolah menjadi produk yang pasti laris manis. "Jualan“ korupsi benar-benar menggiurkan. Siapa yang diuntungkan dari bisnis ini? Media massa adalah pihak yang diuntungkan. Jajak pendapat Kompas (dipublikasikan tgl 7 Desember 2009) yang menjaring 769 responden di 10 kota di Indonesia, menyatakan bahwa hampir 70 persen responden menyatakan kasus Century adalah isu yang paling sering mereka simak melalui berbagai media selama seminggu terakhir. Setelah kasus Bibit-Chandra mampu menaikkan oplah dan pendapatan media massa selama kurang lebih 3 bulan, maka kasus Century merupakan produk pasti laris dalam jangka waktu 3 bulan ke depan. Media massa tidak akan melepaskan momen ini. Aktivis dan LSM anti korupsi, akademisi, plus politikus juga akan kecipratan rejeki kasus "korupsi“ ini, baik rejeki yang diperoleh secara langsung (menjadi penulis, komentator, atau narasumber di televisi/radio, seminar-seminar/workshop, dll) maupun rejeki tidak langsung berupa promosi gratis yang bisa mempopulerkan nama dan kemampuannya (goodwill). Sama dengan kasus Bibit-Chandra yang telah menjadikan Bibit-Chandra sebagai "hero“ dan pihak yang terdzolimi, maka kasus Century berpotensi menaikkan popularitas Jeng Sri dan Pak Boed. Sebagaimana Chandra, Jeng Sri berpeluang menjadi the next president jika mampu melewati ujian ini dengan sukses dan dramatis. Jeng Sri adalah kombinasi positif dari Megawati-JK-SBY (akan ditulis tersendiri). Sri Mulyani is the next president. Jangan lupa, para koruptor pun berpotensi memperoleh keuntungan dari dua kasus tersebut. Kasus "korupsi“ Bibit-Chandra, membuat KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung seolah-olah lumpuh akibat kelelahan bertarung sendiri. Jika dilihat lebih dalam, kasus Bibit-Chandra berpotensi melemahkan KPK secara tidak langsung. Kasus tersebut membuat "kengerian“ KPK untuk bermanuver sebagaimana biasanya (kuatir dikriminalisasi lagi). Kasus Century juga berpotensi melemahkan aparat penegak hukum, pemerintah (eksekutif) dan legislatif akibat kehabisan tenaga saling bertempur sendiri. Dengan demikian, koruptor juga menikmati "jualan“ korupsi ini dan bahkan mungkin menjadi sponsornya. Lalu dimana posisi publik yang merupak konsumen akhir dari "jualan“ korupsi ini? Apakah publik juga beruntung (mendapat pelajaran berharga) sebagaimana disinyalir presiden ketika mengomentari kasus Bibit-Chandra? Atau justru publik-lah yang menjadi satu-satunya pihak yang "buntung“? Tergantung kita memandangnya, "positive thinking" atau "negative thinking". Wallahu 'alam Bish-sahwabi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun