Pemberitaan yang begitu luar biasa menyoroti kasus Bibit-Chandra telah memunculkan 2 tokoh penting di Indonesia, yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Dalam konteks menjadi pemimpin masa depan, Chandra lebih berpeluang daripada Bibit. Chandra dalam usia belia telah meroket namanya bak meteor. Rasanya sebagian besar rakyat Indonesia yang “melek” berita akan tahu siapa Chandra. Wajahnya yang tampan dan murah senyum, akan cepat mudah melekat dalam ingatan publik. Lahir di Jakarta, 25 Februari 1967, Chandra lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1995 plus pengalaman berorganisasi sebagai komandan resimen mahasiswa dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Chandra memiliki sejumlah lisensi keahlian bidang hukum, yakni lisensi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, lisensi Konsultan Hukum Pajak, lisensi Konsultan Hukum Pasar Modal, dan lisensi Pengacara/Penasihat Hukum/Advokat. Pimpinan KPK termuda ini pernah bergiat di YLBHI, staf hukum PT Unelec Indonesia (UNINDO), dan pengacara pada sejumlah firma hukum, seperti pada firma hukum Erman Radjaguguk & Associates, partner pada firma hukum Hamzah Tota Mulia, pengacara senior pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo, dan partner pada Assegaf Hamzah & Partners. Sebelum berkiprah di KPK, Chandra juga sempat berkutat dalam kegiatan memberantas korupsi saat menjadi anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 2000-2001 dan berperan dalam Tim Persiapan Pembentukan Komisi AntiKorupsi. Jabatan terakhir Chandra adalah Wakil Ketua KPK yang membawahi bidang penindakan serta bidang informasi dan data. Jabatan inilah yang membuatnya dikenal luas masyarakat sekaligus menjadi sasaran “kriminalisasi”. Bagaimana masa depan Chandra M. Hamzah pasca polemik kasus Bibit-Chandra ini? [caption id="" align="alignright" width="237" caption="CMH is The Next President"]
CMH is The Next President
[/caption] Seandainya jaksa penuntut umum (JPU) mampu “menelanjangi” Chandra di pengadilan dan hakim dengan meyakinkan memvonis Chandra bersalah, maka Chandra akan menjadi public enemy karena telah terbukti membohongi publik. Sebaliknya, masa depan Chandra akan cerah jika dia mampu keluar dari kemelut ini dengan sukses. Adanya penghentian proses hukum baik dengan SP3 maupun dengan SKP2, akan melambungkan nama Chandra. Apalagi jika dalam pengadilan yang dimonitor secara luas oleh masyarakat, JPU tidak mempunyai alat bukti yang kuat sebagaimana penilaian oleh Tim 8, namun hakim dengan nekat memvonis Chandra bersalah sampai inkracht (berkekuatan hukum tetap), maka penjara akan menjadi kawah candradimuka bagi Chandra untuk menjadi The Next President. Menjadi narapidana dan mendekam di penjara tidak selalu punya stigma buruk. Tidak sedikit tokoh dunia harus terpenjara sebelum menjadi hero. Lihatlah bagaimana sejarah dunia mencatat tokoh-tokoh sekelas
Nelson Mandela, Mahatma Gandhi dan Soekarno pernah merasakan lembabnya suasana penjara. 1. Nelson Mandela pernah dipenjara selama 27 tahun karena menentang politik apartheid. Usianya ketika dimasukkan ke dalam penjara sudah tidak muda, sudah 44 tahun, tapi seperti ditulis di Kompas, dia masuk ke penjara sebagai lelaki yang emosional, keras kepala dan mudah tersinggung, kemudian keluar sebagai sosok yang imbang dan berdisiplin. 2. Soekarno dijebloskan dalam sel penjara bersama Gatot Mangkupraja dan Maskun Somadiredja. Mereka ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Dengan kereta api, mereka diturunkan di Stasiun Cicalengka, 30 kilometer arah timur Kota Bandung, dan dibawa ke Penjara Banceuy sel nomor 5. Soekarno disekap selama delapan bulan di penjara tersebut, sebelum dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. 3. Pada 6 November 1913, Gandhi memimpin 5.000 orang India, terutama para pekerja tambang, dalam sebuah arak-arakan ilegal dari Natal ke Transvaal. Dia ditahan dan dipenjara pada 11 November dan dihukum tiga bulan kerja paksa. Setelah keluar dari penjara, mereka dipuja sebagai pahlawan dan pada akhirnya mereka dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi di negaranya. Bagaimana dengan Chandra? Sejarah juga mencatat, salah satu keunggulan Megawati era tahun 1998-an dan SBY dalam era 2004-an adalah karena “politik aniaya” atau “politik belas kasihan”. Kesuksesan Megawati dalam meraih simpati massa setelah dirinya “dianiaya” Soeharto dan SBY yang “dianiaya” Megawati (plus Taufik Kiemas). Keteraniayaan Megawati plus keteraniayaan ayahnya (Bung Karno) akibat kekuasaan orde baru, telah menuai simpati masyarakat luas. Pada tahun 1998-an, Megawati digambarkan oleh televisi sama seperti dengan sosok tokoh perempuan yang tertindas, semisal Esmeralda atau Maria Marcedes. Masyarakat Indonesia yg cenderung emosional dan tidak rasional, telah berhasil dimanfaatkan oleh Megawati untuk menjadikan PDI-Perjuangan menjadi raksasa di Pemilu 1998. Begitu juga dengan SBY. Meniru apa yang dipraktekkan Megawati dlm menembus simpati publik, SBY dengan wajah memelas merasa dizholimi Megawati karena tidak diajak rapat kabinet serta dianiaya oleh Taufik Kiemas dgn ucapan jendral seperti anak kecil. Blow up dari media massa yang mengarah pada pencitraan bahwa SBY telah di dianiaya oleh Megawati. Begitu kuatnya pemberitaan itu, sehingga SBY "tampak" seperti orang baik dan Megawati "tampak" seperti orang jahat. Dan sebagian besar rakyat Indonesia yang cenderung emosional dan kurang rasional kebanyakan akan mudah dipengaruhi oleh hal-hal kecil seperti ini. Mungkinkah Chandra M. Hamzah akan memanfaatkan teknik yang sama untuk menjadi The Next President?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Politik Selengkapnya