Waktu itu sedang dalam perayaan ulang tahun kampusku. Ada beragam lomba, satu di antaranya: lomba menulis puisi.
Kukirimkan puisiku. Kulombakan. Aku menang. Ya, seperti yang sudah kelen bayangkan: hadiah lomba tak kuambil. Namaku disebut-sebut oleh panitia dan aku tak maju mengambil hadiah.
Orang-orang tahu aku ada di mana saat itu. Aku memakai pakaian SMA dan duduk-duduk di kantin dengan sebatang rokok dan segelas kopi.
Singkat cerita, muncul kelanjutannya: Ada Apa dengan Cinta 2.
Selesai menonton itu aku baru sadar, ternyata Rangga tidak sebegitunya. Tenyata Rangga tidak melulu bikin puisi. Apa-apa puisi. Minum kopi, jadi puisi; makan ingat puisi; berangkat kerja bikin puisi.
Tenyata seperti halnya manusia biasa, Rangga juga hidup layaknya kita-kita yang jelata ini.
Sayangnya yang tertinggal dari itu semua: karakter Rangga. Berpuluh tahun aku mengikuti (gaya) hidupnya dan lalu akhirnya membentukku hingga hari ini.
Aku, bagi sebagian orang, dianggap aneh. Sering kikuk berhadapan dengan orang baru. Aku kira, aku Rangga ternyata aku nerd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H