Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Bawah Boemi Pertiwi

1 Februari 2020   18:53 Diperbarui: 1 Februari 2020   18:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

27 Juli 1947

Sudah satu minggu sejak Belanda melakukan agresi ke tanah jawa. Beberapa lokasi strategis telah dikuasai, dan Belanda juga menguasai berbagai daerah di Jawa Timur. Para Gerilyawan terus menerus berjuang dan melawan demi mempertahankan tanah air dari bangsa Eropa yang rakus ini. Beberapa dari mereka gugur, hilang dan tertangkap. Salah satu lokasi yang dikuasai Belanda dijadikan sebuah penjara dadakan. Para prajurit Gerilya di tahan disana. Termasuk Supardi, seorang pemimpin dari pasukan Gerilya yang tertangkap saat hendak menyebrangi sungai Bengawan Solo. Prajuritnya berhasil kabur dan masih berjuang di luar sana. Namun nasib berkata lain untuk Supardi, dirinya malah mendekam di kamp tentara Belanda.

Pada suatu sore, Supardi di bawa ke sebuah tenda untuk di interogasi. Pria berkulit sawo matang dan berbadan jangkung itu tampak kusut, bajunya lusuh dan badannya lemas. Ia duduk di depan Gerard de Lodewijk, seorang jendral tentara Belnda yang bertanggung jawab atas pasukan yang ada sekarang ini. Wajahnya dingin, sedingin warna kuliutnya yang putih dan rambutnya yang pirang. Matanya menatap tajam ke arah Supardi yang dijaga dua orang anak buahnya di kiri dan kanan.

"Dimana mereka sembunyi?" Tanya Gerard dengan logat Eropa yang kental. Akan tetapi Supardi hanya diam dan tak menjawab. Matanya melihat ke arah lain, seakan mengabaikan sang jendral yang mengajaknya bicara.

"Saya tidak mau pertumpahan darah lebih banyak ... Belanda bisa memberikan damai bila kalian mau, perang itu melelahkan tuan Supardi." Ucapnya lagi. "Kita bisa damai seperti dulu lagi, hidup bersama seperti dulu lagi ...." Lanjut Gerard.

"Bajingan! Kau habisi tenaga rakyat ku, kau habisi hasil panen, kau rebut hewan ternak rakyat dan kau anggap kami sebagai budak! Dan sekarang disaat kami melawan kau bilang kita damai? Hidup bersama? Yang ada kami memberi kalian kehidupan! Kami diperas tenaga dan sumber alam demi mendukung negara kecil kalian yang hampir musnah itu! Kalau bukan karena tanah air ku, negaramu itu sudah hancur! Belanda itu negeri biadab yang hidup dari Bumi Indonesia!" Pungkas Supardi dengan nada tinggi membentak sang jendral.

Gerard melirik kedua anak buahnya yang berdiri di samping Supardi. Dia memberi sebuah isyarat yang tampaknya tidak dimengerti oleh anak buahnya, anak buahnya itu hanya saling pandang dan kebingungan.

"Stupid! Hij heeft ons land beledigd! Raak hem!" Bantak sang jendral kepada kedua anak buahnya. Dan dengan segera kedua anak buah itu memukul Supardi dengan gagang senjata laras panjang yang mereka pegang itu. Supardi hampir pingsan terkena pukulannya, kemudian ia segera di kembalikan ke dalam penjaranya, atau yang biasa disebut 'Kandang' oleh para tentara Belanda.

"Dari mana mas?" Tanya seorang tahanan lain yang dikurung di samping Supardi.

"Dari laskar gerilya." Jawab Supardi dengan singkat. Tahanan itu mengangguk lemas dan menghentikan percakapan itu.

Malam harinya, Supardi di berikan makanan yang lumayan banyak. Ia diberi makan nasi, daging, roti dan minuman yang menyegarkan. Ia sangat kenyang malam itu, tenaganya terisi kembali. Makanan enak yang diberikan musuhnya itu bahkan tak pernah ia rasakan saat berjuang di hutan. Supardi tidur nyenyak dalam sel penjara yang beralaskan tanah itu.

Keesokan paginya, datang dua orang prajurit Belanda yang mengeluarkan Supardi dari sel. Salah satu tentara memegang cangkul yang langsung diberikan kepada Supardi. Ternyata ia segaja diberi makan enak semalam, karena akan diperas tenaganya keesokan hari. Supardi di antar menjauh dari kamp. Salah satu tentara mendorongnya agar berjalan lebih cepat. Sampai akhirnya mereka berhenti dan Supardi mulai menggali tanah.

"Werken! Werken!" Kata para tentara Belanda yang mengawasi Supardi.
Supardi dengan sabar menggali tanah dengan cangkul itu. Dalam hatinya, ada keinginan untuk kabur. Akan tetapi ia masih berpikir jernih, dua moncong senapan siap menembaknya jika ia berani kabur. "Tidak! Belum saatnya aku mati! Para bajingan ini belum pergi dari tanahku!" Kata Supardi dalam hatinya. Ia mulai emosi, segala perasaan marah dan emosinya ia luapkan dengan menggali tanah. Sampai tak terasa ia sudah menggali sampai sedalam pinggulnya.

Para tentara itu menyuruhnya terus menggali, padahal siang itu sudah semakin panas dan Supardi mulai kehabisan tenaganya. Akan tetapi moncong senapan Belanda memaksanya terus bekerja. Sesekali ia melihat sekitar, tak ada tahanan lain yang disuruh bekerja seperti dirinya. Para tahanan lain terlihat ada di dalam selnya masing-masing. Saat sibuk memperhatikan, pandangannya terhenti saat melihat Gerard di depan tendanya sedang menonton dirinya menggali tanah. Lengkap dengan segelas kecil wine di tangannya.

"Wat heb je gezien?! Werken!" Bentak tentara Belanda sambil melempar tanah ke arah Supardi.

Supardi kembali fokus menggali tanah dengan segala sisa tenaga yang ada. Keringat mengucur membasahi badannya, begitu juga dengan kotoran tanah yang menempel di kulitnya. Terkadang beberapa batu menyulitkannya menggali, namun ia selalu punya cara untuk memecahkannya. Perhatiannya kembali teralihkan saat para tentara melempar roti ke setiap sel. Akan tetapi Supardi yang sejak pagi bekerja belum juga di beri makanan.

Tak terasa langit perlahan mulai gelap, Supardi berhenti dan duduk di dalam lubang yang sudah sedalam 2 meter lebih itu. Bahkan dengan tenaganya yang sudah habis, Supardi tak mampu memanjat naik. Ia terjebak di dalam lubang yang ia gali sendiri, duduk terkulai lemas sambil memegang cangkul. Tiba-tiba suara tembakan senapan membuatnya terkejut, dengan segera ia kembali berdiri dan kembali menggali tanah walau badannya sudah begitu lemah. Ia hanya mengayun-ayunkan cangkul itu ke tanah dengan lemah. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah. Tentara Belanda yang memperhatikannya dari atas membiarkannya seperti itu.

Saat malam tiba, datang tentara lain yang menggantikan tentara sebelumnya yang sudah mengawasi Supardi sejak pagi. Berbeda dengan sebelumnya, tentara yang mengawas kali ini bisa berbicara bahasa Indonesia. Ia memperkenalkan namanya sebagai Pieter. Pieter terus menerus nmengoceh dan menghina Supardi yang sedang bekerja di bawah sana.

"Kalau aku bertemu dengan pasukanmu, akan kuberi tahu mereka. 'Pemimpinmu sedang menggali tanah untuk kami.' Kemudian apakah mereka akan senang?" Ucap Pieter dalam salah satu ocehannya yang merendahkan Supardi.

Supardi hampir kehilangan kesadarannya saat malam kian larut, nafasnya kian sesak dan ia tumbang malam itu. Badannya tergeletak di tanah, tangan dan kakinya tak mampu bergerak lagi. Bahkan untuk bernafas pun susah rasanya, wajahnya juga kian memucat bagaikan mayat. Ia berbaring lemah di dalam lubang yang ia gali dengan tangannya sendiri, menatap bintang-bintang di langit sambil membayangkan dirinya berada di rumah, bermain dengan anak-anaknya kemudian tidur bersama di ranjang yang empuk. Air matanya menetes malam itu, tubuhnya sudah tak berdaya.

Keesokan paginya Jendral Gerard menemukan Supardi telah terbaring sekarat di dalam lubang yang ia gali. Ia melihatnya sambil tertawa kecil dan menghembuskan asap rokok yang ia hisap. Di temani Pieter di sampingnya yang membawa sebuah sekop. Supardi sudah tak bisa bergerak lagi, dirinya sekarat dan mustahil bisa terselamatkan.

"Pieter ... kamu kubur dia! Biarkan dia mati di dalam liang kubur yang ia gali sendiri." Ucap Gerard yang kemudian menghisap rokoknya.

"Jendral, bila ingin membunuh dia. Kenapa tidak kita tembak kepalanya dari awal?" Tanya Pieter yang penasaran.

Jendral Gerard mengeluarkan sebutir peluru dari saku mantelnya. "Aku tidak sudi, bagiku sebutir peluru ini lebih berharga ketimbang nyawanya. Jadi kalau aku tembak dia, kita rugi satu peluru untuk satu monyet yang tak ada harganya ini." Kata Gerard dengan nada dan ekspresi angkuhnya.

Mendengar ucapan Jendralnya sang anak buah tertawa sesaat, sebelum akhirnya mulai mengubur Supardi yang terkulai lemah di bawah sana. Sedikit demi sedikit tanah yang ada di atas ia turunkan ke dalam lubang. Perlahan-lahan tanah mulai menutupi badan Supardi, dari mulai kaki, perut hingga wajahnya. Sampai Supardi benar-benar tak terlihat lagi, terkubur dalam tanah yang dingin, kemudian terlupakan oleh orang-orang. Beberapa menit kemudian, lubang yang Supardi gali sudah rata dengan tanah lainnya. Rata bersama Supardi di dalamnya. Seorang pahlwan yang tertidur nyenyak di bawah tanah air tercinta, dalam pelukan hangat ibu pertiwi.

Salam hangat penuh cinta dari penulis, teruntuk semua pejuang yang gugur demi membela tanah air. Salam sejahtera untuk semua anak bangsa yang meneruskan perjuangannya di bumi Indonesia.

Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun