Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kemelut Kampung Wayang

29 Desember 2019   03:20 Diperbarui: 29 Desember 2019   03:26 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah saya putuskan untuk mundur menjadi ketua rukun tetangga." Kata semar di depan anak buahnya Petruk, Bagong dan Gareng. Semar adalah seorang ketua RT yang sudah menjabat selama 20 tahun, dan hari ini adalah pertama kalinya ia berucap untuk meninggalkan jabatannya itu.

Para anak buahnya tak heran, tak juga merasa kaget. Mereka sudah memperkirakan bahwa hal ini akan terjadi. Begitu juga dengan Semar yang sudah memikirkan matang-matang keputusan ini. Sehingga saat waktunya tiba ia bisa mengucapkan kalimat itu dengan senyuman. 

Di awal hari yang masih belum tersentuh sinar matahari, ketiga anak buah Semar saling pandang, saling bisik, memikirkan tindakan apa yang diambil oleh Semar pasca pengunduran dirinya yang menjelang pemilihan ketua RT baru beberapa minggu lagi.

Semar beranjak dari kursinya, meninggalkan ketiga anak buahnya yang masih diam membisu. Keputusan Semar ini menjadi keputusan yang bijaksana mengingat kondisi dirinya yang sudah tidak menguntungkan lagi sebagai ketua RT. Kini situasi menjadi rumit. Semenjak Sengkuni ikut campur dalam pemilihan ketua RT. 

Sengkuni adalah seorang pendatang yang tak memiliki darah keturunan asli Kampung Wayang. Entah setan dan dendam apa yang ada dalam dirinya, Sengkuni menjelek-jelekkan nama Semar di depan para warga. Mungkin sah-sah saja kalau menurut Sengkuni, lingkungan RT 02 butuh pembaharuan. Namun sayangnya, Sengkuni mengambil jalan yang salah. Sengkuni mengambil jalan dengan latar belakang dendam pribadi, sehingga kegiatan yang ia sebut dengan musyawarah itu lebih mirip provokasi yang menjelekkan nama Semar.

"Jadi bapak sudah menyerah kepada Sengkuni?" Kata Bagong yang menghampiri Semar di teras rumahnya.

"Tidak gong, bapak bukannya menyerah. Bapak mengalah. Tapi bapak punya maksud lain. Kamu tahu kan? Selain bapak dan Brotoseno, masih ada satu lagi calon ketua RT." Jawab Semar.

"Maksud bapak Krisna?" Tanya Bagong.

"Iya gong. Bapak merasa kalau Brotoseno kelihatannya menjadi kuda tunggangan Sengkuni. Warga juga sudah banyak yang terhasut oleh Sengkuni yang sedang gencar-gencarnya mempromosikan Brotoseno. Jadi secara tak langsung, sebenarnya pemilihan ini sudah dimenangkan oleh Brotoseno." Ucap Semar menjelaskan.

"Lantas apa hubungannya dengan Krisna pak?" Kembali Bagong bertanya karena merasa belum mendapat jawaban.

"Beberapa waktu lalu, selepas sholat isya di masjid. Bapak bertemu dengan Brotoseno. Bapak mengobrol dengannya, Brotoseno bilang dia sangat menghormati Bapak sebagai ketua RT selama 20 tahun terakhir. Sehingga Brotoseno berjanji kepada Bapak, apabila Bapak mengundurkan diri. Dia, Brotoseno akan ikut mengundurkan diri pula." Jawab Semar.

"Jadi Bapak mengundurkan diri agar Brotoseno ikut mundur. Kemudian Sengkuni akan kehilangan kekuatan, dan secara otomatis Krisna yang naik sebagai ketua RT." Kata Bagong yang mulai paham dengan ucapan Bapaknya.

"Krisna, orang itu lebih terlihat arif dan bijak ketimbang Brotoseno yang tampak bodoh dan tak sadar dirinya dimanfaatkan sebagai alat balas dendam Sengkuni. Krisna juga suka menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan RT, jadi Bapak rasa dia pantas untuk meneruskan jabatan ini." Kata Semar.

Hingga hari dimana pemilihan RT itu berlangsung, Brotoseno tak menepati janjinya. Brotoseno menang terpilih jadi ketua RT. Krisna kalah suara dengan begitu telak. Sengkuni semakin merasa menang, berjaya bermahkotakan rasa bangga. Sedangkan Semar kian terpuruk tenggelam dalam nama buruk. 

Bagong, Pertuk, Gareng  membatin, berdiam menahan murka. Akan tetapi akankah Semar membalas? Tidak, apalah harganya jabatan ketua RT yang selama 20 tahun ia pegang, namun tak sekalipun membuatnya berenang dalam emas. Semar percaya balasan itu tidak akan datang darinya, sehingga bukan ialah yang berhak memberi balasan itu. Tuhan tidaklah buta terhadap kedzaliman.

Cerpen ditulis dan dikarang oleh Harry Wijaya

Depok, 28 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun