Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritik Sosial: Subjektivitas Rakyat Indonesia

25 Agustus 2019   12:26 Diperbarui: 25 Agustus 2019   13:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam masa pemerintahan Orde Baru, rezim tersebut tak hanya menguasai sumber daya negara, melainkan juga pikiran rakyat nya, dengan propaganda dll. Pikiran rakyat yang terkontrol oleh pemerintah itulah yang kemudian menjadi subjektivitas. Di mana sosok pemerintah saat itu yang menyebarkan berita ini-itu di anggap benar dan tepat, selama yang berbicara pemerintah. Pasca 20 tahun runtuh nya orde baru, nyata nya subjektivitas tersebut belum lah hilang, subjektivitas tersebut menjadi warisan yang masih ada dalam masyarakat kita saat ini. Dan subjektivitas tersebut juga memiliki gaya baru, dimana subjektivitas berasal dari golongan masyarakat itu sendiri.

Di masa sekarang, kita bisa dengan mudahnya mengakses informasi dan berita dengan media online dan internet. Tak hanya itu, dengan ada nya sosial media, rakyat bahkan bisa dengan mudah membuat berita sendiri, yang kemudian menjadi pertanyaan, mengenai benar atau tidak nya berita tersebut. Berita yang di sampaikan masyarakat bisa menjadi simpang siur dan kehebohan di sosial media bisa terjadi. Kehebohan juga bisa terjadi di media berita-berita komersil, yaitu dengan penggunaan judul yang di lebih-lebihkan bahkan terkadang berada di luar fakta.

Di tengah situasi inilah kemudian muncul kelompok masyarakat yang bersifat memihak, saat terjadi sebuah konflik, kejadian, sampai kebijakan yang di beritakan di media online, rakyat lebih cenderung untuk memihak kelompok yang di anggap nya benar. Kepemihakan ini sering kali tanpa alasan yang mendasar dan bersifat dangkal. Sebagai contoh, seseorang memihak satu kelompok karena rasa tidak suka terhadap kelompok lain yang di anggap sebagai "Lawan" dari kelompok yang ia bela.

Ini yang saya masksud subjektivitas di masa sekarang, dimana seseorang mengidolakan atau menghormati satu pihak, sehingga apa yang di keluarkan pihak tersebut dianggap benar, dan hal ini berlaku pada kedua kelompok yang 'notabene' nya tidak mau mengalah. Dengan alasan ini, ia terus menerus membagikan dan menyebar berita-berita buruk mengenai kelompok yang dia tidak suka, dan ini berbahaya karena dapat memberikan doktrin kebencian ke masyarakat lainnya yang berpotensi merusak kesatuan bangsa.

Dan dalam tulisan ini saya merasa mempunyai langkah yang tepat dalam menghadapi masalah ini, yaitu kepada pembaca / penerima berita dan pembuat berita.

OBJEKTIVITAS MASYARAKAT

Objektivitas adalah lawan dari subjektivitas, objektivitas melihat suatu masalah berdasarkan apa yang terjadi di lapangan dan juga metode analisa yang tepat. Bukan seperti subjektivitas yang bersifat kata orang, / menurut pendapat pribadi. Sekarang kita ambil contoh mengenai kebijakan seorang walikota yang memutar lagu supaya para pengendara yang terjebak macet menjadi rileks dan tenang.

Pasti banyak di antara kita akan berpendapat bahwa kebijakan ini konyol, dan tidak relevan, banyak juga yang berpendapat bahwa yang harus di benahi adalah kemacetannya, bukan malah memutar lagu disaat macet. "Harus nya begini... Harusnya begitu..." banyak kita berkomentar negatif yang akhirnya memberi kesan bahwa walikota tersebut tak bisa kerja. Dengan anggapan masyarakat yang semakin heboh, topik ini pun di angkat terus menerus oleh para media berita komersil. Pertanyaan nya, masyarakat yang berkata demikian apakah sudah tahu apa yang di kerjakan oleh walikota tersebut. Saya yakin rata-rata di antara mereka hanya termakan berita dan tak melihat keadaan nya secara langsung di lapangan.

Jujur, tadi nya saya juga berpendapat demikian. Namun setelah saya berkesempatan melihat langsung situasi di lapangan, sudut pandang saya berubah. Saya berfikir, selama ini sebenarnya walikota tersebut telah bekerja, saya lihat sendiri hasil kerja nya dalam menanggulangi kemacetan. Yaitu penerapan jalan satu arah, larangan putar arah di beberapa titik, sampai optimalisasi jalan-jalan lainnya. Dengan begitu bisa saya simpulkan bahwa sang walikota telah bekerja, namun karena padat nya penduduk kota, masalah kemacetan ini tak bisa langsung terselesaikan begitu saja.

Masih perlu banyak waktu untuk menanggulangi kemacetan yang parah tersebut. Dan sang walikota dengan inisiatif memutar lagu adalah untuk membuat kita pengguna jalan supaya sabar dan tenang selama macet (Sambil menunggu penerapan baru dari pemkot), sehingga kecelakaan karena buru-buru dan berebut jalan dapat terhindarkan. Jadi banyak dari kita yang menganggap pemutaran lagu itu bukan solusi, memang bukan solusi! Itu hanya hiburan kepada kita dari sang walikota, sambil menunggu kebijakan baru lainnya yang di harapkan dapat menanggulangi macet. Tapi kita dengan arogan nya malah menganggap si walikota tidak bisa kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun