Mohon tunggu...
Harry Purnama
Harry Purnama Mohon Tunggu... -

Trainer & coach mature leadership, listening wisdom dan work and life balance [WLB] tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Peaceful Life"

4 Februari 2014   13:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“ Betapa nikmatnya dan “peacefulnya,” jika kota yang kita diami, semua orang naik sepeda yang melambat. Kota menjadi sepi dari klakson. Tak ada lagi hidup yang tergesa-gesa, diburu-buru waktu dan dikejar-kejar harapan sendiri. Sepeda, alunan otot kaki musik alami, tanpa bising, tanpa motor. Tak ada yang dikejar dan mengejar.Karena hidup tak memiliki apa-apa, tak memegang apa-apa, lalu apa yang dikhawatirkan lagi? Tak ada. Hidup manusia menjadi lebih tenang, tak ada musuh, tak ada persaingan, jauh dari angka-angka. Anak ke sekolah, tak mengejar nilai. Papa mama ke kantor, tak menumpuk harta. Semua sama, ingin menikmati hidup berdampingan tanpa perebutan dan perselisihan. Gowes-gowes lalu tak lama menuju pinggiran pantai, seperti di Kuta dan Jogya. Maksimum, orang hanya naik becak dan jika terpaksa mengeluarkan sepeda motornya dari garasi. Orang tak lagi membeli mobil dan rumah mewah. Tak harus hidup di tengah sawah atau di hutan atau di mobil caravan. Tetaplah disitu.Yang ada hanya gazebo dari bambu, tempatnya jiwa yang lelah duduk-duduk di sore hari, sambil menanti maghrib. Kopi dan teh hangat disajikan dengan ubi rebus, paling banter pisang goreng, bukan black-forest atau chicken-nugget atau KFC. Dunia semakin tidak mahal. Walikota dan gubernur tak pusing membangun jalan tol, fly-over dan monorail. Anggaran kota menjadi murah. Tak ada pajak STNK mobil yang membuat kening berkerut.Uang yang ada dipindahkan ke rumah-rumah sehat di pinggiran kota. Pejabat tak perlu korupsi, karena semua orang bersepeda. Nilai-nilai tradisional hidup kembali. Warga saling menolong dan bergotong-royong. Membangun negeri tanpa menyakiti. Life is so simple.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun