Beberapa bulan terakhir masyarakat di Jakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan demo buruh yang hampir terjadi setiap bulannya. Maraknya demo buruh ini terjadi sejak adanya rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang sekarang sudah diresmikan menjadi Perpu dan berlaku sejak 31 Maret 2023.Â
UU Ciptaker ini dianggap sangat merugikan nasib kaum buruh dan hanya menguntungkan pihak pengusaha saja. Demo-demo buruh yang terjadi dalam perkembangannya berhasil menghidupkan kembali Partai Buruh yang terdiri dari 4 konfederasi serikat pekerja dan 50 federasi serikat pekerja tingkat nasional.Â
Terlihat sebagai Partai yang mengkhususkan diri membela kepentingan buruh dan pekerja sektor informal yang jumlah bisa mencapai 70 juta orang. Tetapi melihat dari elektabilitas partai ini dari berbagai hasil survei sangat berbanding terbalik. Salah satunya Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merilis elektabilitas partai politik bulan Juli 2023 menempatkan partai buruh hanya memiliki 0,3%.
Tidak Bersatunya Gerakan Buruh
Hal yang paling mendasar dari rendahnya elektabilitas partai buruh ini disebabkan karena tidak semua gerakan buruh yang menyatukan diri ke dalam Partai Buruh tersebut. Belum lagi banyaknya buruh-buruh yang sudah memiliki afiliasi dengan partai-partai tertentu ataupun relawan tertentu. Ini bisa dilihat pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, dimana dari kubu Prabowo maupun Jokowi memiliki konfederasi buruh buruh masing-masing yang mendukung kedua calon. Dimana dikubu Jokowi terdapat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea. Sedangkan di kubu Prabowo terdapat Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal. Â Â Â
Jika melihat sejarah gerakan buruh Indonesia pada tahun 1950-an, gerakan buruh sudah terjadi terbagi-bagi berdasarkan ideologi dan hubungannya dengan partai politik tertentu. Sebut saja Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) yang berafiliasi dengan NU, dan Gerakan Organisasi Buruh Serikat Islam Indonesia (GOBSII) yang dibentuk oleh Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Upaya Penyatuan Gerakan Buruh
Meski sejak dulu selalu terpecah-pecah bukan berarti tidak ada upaya dari para buruh untuk menyatukan gerakan buruh. Berdasarkan buku Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia karya Sandra, menjelaskan pernah ada usaha untuk menyatukan satu organisasi buruh. Ditengah pemerintah Indonesia sibuk menyusun kelengkapan negara seiring perundingan damai dengan Belanda saat itu. Pada 30 Mei 1949, 15 serikat buruh berhasil membuat pertemuan tanpa membeda-bedakan induk organisasi. Pada pertemuan itu berhasil membentuk panitia koordinasi serikat-serikat buruh dan memiliki tugas:
Mengaktifkan serikat buruh.
Mengusahakan adanya satu induk serikat.
Mengkoordinir soal-soal perburuhan. Â Â Â
Pada pertemuan selanjutnya panitia ini sudah menjadi 21 serikat buruh dan resmi berganti bentuk menjadi Himpunan Serikat-serikat Buruh Indonesia (HISSBI). Kemudian pada Agustus 1949 di Bandung, diadakan kongres gabungan serikat buruh bersama dengan BPSS (Badan Pusat Serikat-serikat Sekerja). Awal dari kongres itu sebenarnya untuk membentuk induk organisasi buruh untuk seluruh Indonesia. Namun terjadi pertentangan diantara anggota sehingga kongres itu hanya membentuk Pusat Sementara Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (PSOBSI) yang memiliki tugas untuk membentuk induk serikat buruh dengan meleburkan diri dengan yang sudah ada atau membentuk yang baru.
Perjalanan HISSBI mendapat rintangan besar pada saat SOBSI dibentuk kembali setelah SOBSI menerima undangan dari WTFU (World Federation of Trade Unions) untuk menghadiri kongres buruh asia-pasifik di Peking. Berdirinya kembali SOBSI ternyata mempersulit impian HISSBI, karena SOBSI selalu menolak hasil-hasil yang dibuat HISSBI dan sering tidak mau menghadiri konferensi yang dibuat oleh HISSBI. Alasan SOBSI melakukan hal itu karena menganggap hasil keputusan yang dibuat oleh HISSBI tidak demokratis.Â
SK. Trimurti dalam "Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia Dengan Kemerdekaan Nasional", Ketidakkompakkan ini berimbas dengan Kongres Buruh Umum yang dilaksanakan pada 5-9 Februari 1951, di Bandung. Tujuan utama kongres itu untuk mendirikan induk organisasi buruh. Tetapi SOBSI mengkritik keras kongres buruh umum. Kongres ini hanya membentuk Badan Koordinasi Buruh Indonesia (BKBI). BKBI memiliki tugas sebagai berikut;
Mempersiapkan dasar-dasar ke arah terlaksananya pembentukan induk serikat buruh.
Mengusahakan vertikalisasi dari organisasi-organisasi buruh yang ada.
Mempersatukan organisasi vertikal itu kedalam satu induk.
Tapi tugas-tugas ini mengalami kegagalan seiring penolakan oleh SOBSI dan faktor-faktor lain dan hanya berhasil membentuk satu federasi baru dengan nama COBRA yang kemudian berganti nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) yang didalamnya terdapat 19 serikat buruh.
Dari penjelasan diatas nampak pergerakan buruh di Indonesia selalu diterpa perselisihan mengenai ideologi dan kepentingan yang membuat tidak pernah bisa terwujud satu gerakan buruh yang kompak dan solid di Indonesia. Padahal jika bisa membentuk satu gerakan yang padu akan sangat mempermudah tuntutan-tuntutan buruh selama ini karena memiliki massa yang besar dan kompak untuk memperjuangkannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H